BAB 18 : The Cursed Children

469 80 2
                                    

Kanaya dan Devandra masih di pantai Nirwana hingga senja, karena ingin melihat suasana sunset yang indah. Angin pantai yang menghembus tubuh - tubuh mereka, entah kenapa  tiba - tiba membuat Kanaya bergidik. Gadis itu spontan mengusap - usap lengannya. Sebetulnya bukan dingin, tapi karena angin itu seolah bersuara seperti sebuah tangisan.

"Kenapa?" Tanya Devandra.

"Eh? Gak, gu - gue cuma kedinginan," sahut Kanaya berdusta, tak ingin Devandra tertawa jika dia mengatakan dia sedang mendengar suara tangisan. Devandra melepas hoodie yang melapisi seragam sekolahnya.

"Pake," Devandra menyodorkan hoodie nya pada Kanaya.

"Ha?"

"Pake, supaya gak kedinginan," pemuda itu tak sabar menunggu Kanaya menerima hoodie yang disodorkannya, langsung menutupi tubuh Kanaya dengan hoodie.

"Euh, te - terima kasih, Dev," wajah Kanaya langsung merona, tak mengira perhatian Devandra begitu besar padanya.

Devandra mengangkat bahu, seolah berkata 'No problem.' Tapi sejurus kemudian Kanaya tiba - tiba tersentak lagi, suara tangisan itu terdengar lagi. Ya Tuhan, siapa? Siapa yang menangis?

Dari kejauhan seperti ada dua sosok yang berdiri, sedang menatap ke arahnya. Kanaya yakin betul suara tangisan itu berasal dari sana.

"Eh?"

Darah Kanaya serasa mendesir, dua sosok itu tampak tak asing bagi Kanaya, sangat familier. Se - seperti sosok yang selama ini dirindukan Kanaya...

"Mama? Papa?"

"Apa?" Devandra yang berdiri di samping Kanaya, menoleh.

"Dev, itu - itu...,"

"Itu apa?"

Tangan Kanaya mengacung tapi gadis itu kecewa karena arah yang dia tunjuk kini hanya kosong belaka, padahal dia yakin tadi melihat sosok Mama dan Papanya di sana.

"Gak ada siapa - siapa, lo liat apa sih?"  Devandra mengangkat alis.

"Mama dan Papa...,"

Devandra seperti terkejut mendengarnya, tiba - tiba merengkuh kepala Kanaya hingga wajah gadis itu menubruk dadanya.

"Jangan liat, gak ada siapa - siapa, lo cuma halu," kata pemuda itu.

"Ta - tapi Dev, gue sungguh ngeliat..,"

"Kita pulang," kata Devandra tegas.

"Pulang?" Kanaya terjengah mendengar Devandra tiba - tiba mengajak pulang.

"Udah hampir Maghrib...,"

Devandra gelisah, Kanaya tau. Di sepanjang perjalanan menuju ke pelataran parkir kawasan pantai Nirwana, pemuda bermata abu - abu itu berulang kali mengusap tengkuknya, dan menoleh ke belakang. Tidak ada siapa - siapa di belakang mereka, tapi kenapa  Devandra tampak begitu khawatir?

"Lo liat Mama dan Papa gue juga kan?" Tanya Kanaya masih penasaran, Devandra menggeleng.

"Gak liat,"

******

Hari sudah gelap, saat menderu dengan motor sport - nya di sepanjang perjalanan pulang dari rumah Kanaya, Devandra tau ada yang mengikutinya.  Sesuatu yang melayang samar–samar di sisinya.

"Jangan dekati Kanaya...Jangan ganggu Kanaya...,” desahan itu begitu lirih terdengar berulang–ulang mendirikan bulu kuduk.

Devandra mengerutkan kening. Awalnya si mata abu - abu itu tak menghiraukan desahan itu – setidaknya mencoba untuk tidak mendengarkan, tapi lama– kelamaan dia terganggu juga.

02.00 ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang