Devandra tidak tau, sudah berapa lama dia tertidur atau bahkan mungkin pingsan. Tapi ketika akhirnya pemuda itu terbangun, dia terperanjat menemukan dirinya tidak lagi berada di dalam sumur.
Hal pertama yang dilihatnya adalah lantai pualam putih kebiruan membentang di bawah kakinya. Dingin berkabut, entah di mana. Devandra merasakan pergelangan tangan dan kakinya terasa nyeri terbelenggu sesuatu. Bahunya terasa begitu sakit, dan dia tidak bisa bergerak. Bahkan mengangkat kepalanya pun terasa sulit sekali.
“Di mana ini?” Pertanyaan itu spontan meluncur dari mulut Devandra, tapi pemuda itu segera menyadari bahwa sia-sia saja bertanya seperti itu, karena tak ada yang menjawab pertanyaannya. Sepi. Sunyi.
Devandra bergidik, sayup–sayup telinganya menangkap satu–satunya suara yang terdengar di situ. Suara tangis yang begitu lirih dan begitu sedih, seolah si pemilik suara sedang merasakan keputus–asaan dan kekecewaan yang tak terobati. Suara tangis itu terdengar begitu aneh mendirikan bulu kuduk karena terdengar berkepanjangan tanpa henti.
Dengan susah payah Devandra mengangkat kepalanya, gelisah mencari–cari sumber suara tangis itu, tapi suara itu seolah mendengung tanpa wujud. Tak ada siapapun.
Kelihatannya cuma dia sendiri di situ, di sebuah ruangan luas berwarna suram. Pilar–pilar kelabu tampak menjulang di kiri–kanannya. Tembok - tembok batu memenjarakan ruangan itu dengan kokoh. Si mata abu - abu itu mengeluh panjang ketika menyadari dirinya ternyata sedang tergantung pada pilar-pilar itu dengan rantai–rantai membelenggu pergelangan tangan dan kakinya.
Percuma Devandra mencoba menyentakkan tangan dan kakinya, karena tindakan itu justru menyakiti dirinya sendiri. Pemuda itu merintih. Rantai itu terlalu erat membelenggu tangan dan kakinya.
Pemuda itu merintih lagi. Apa yang sebetulnya sudah terjadi pada dirinya? Siapa yang membawanya ke tempat aneh ini? Apakah arwah Mamanya? Apakah Yuura? Atau mahluk-mahluk halus yang mengerikan itu?
Belum sempat Devandra berpikir lebih lama, suara derit pintu besi yang terbuka, menyentakkan pemuda itu. Dari depan pintu besi yang berada di pojok ruangan suram itu, Devandra mendengar suara ribut, sumpah-serapah dari seseorang yang sudah begitu dikenalnya. Anzu.
“Brengsek! Lepasin gue!! Siapa kalian? Kenapa gue diseret-seret kayak gini? Heh, kalian tuli ato bego? Kenapa diam aja?”
Devandra melihat beberapa orang bertubuh kekar, tinggi besar dengan raut wajah dingin menyeramkan, mengenakan pakaian seperti pengawal kerajaan zaman dulu, lengkap dengan tombak - tombak besi di tangan mereka. Orang–orang aneh itu menyeret Anzu masuk ke ruangan itu. Merantai saudara kembarnya di pilar-pilar kelabu yang berdiri menjulang di sampingnya. Anzu mencak–mencak bagai monyet berusaha memberontak dari rantai itu tapi jelas itu sia–sia saja. Orang–orang yang membawa Anzu, tanpa bicara segera berlalu dari ruangan itu dan menutup kembali pintu besinya.
“Heh, brengsek! Setan lo, jangan pergi! Lepasin gue! Lepasin, kalian dengar?!” teriak Anzu bagai orang kesurupan.
“Anzu, udahlah,” Devandra menegur saudara kembarnya. Anzu tersentak, dan menoleh.
“Whoa, lo di sini juga, Bro??” Anzu seperti baru menyadari keberadaan Devandra di sampingnya.
“Mana Yuura? Lo ketemu dia?” tanya Devandra.
“Ha? Lo kenal Yuura juga? Yeah, dia ngedatengin gue di Apartemen. Dia bilang gue harus ikut dia. Tetua–tetua mahluk halus udah tau keberadaan gue ama lo katanya,” Anzu terlihat kebingungan tak mengerti sewaktu menceritakan itu. “Tapi di tengah perjalanan hendak bergabung dengan lo di sumur itu, kami tertangkap oleh mahluk–mahluk, yang disebut Yuura, para tetua, dan dibawa kemari.”
KAMU SEDANG MEMBACA
02.00 ( Tamat )
HorrorKanaya yang sedang berduka, menghadiri pemakaman orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan, tak sengaja bertemu dengan Devandra Sosok Devandra yang begitu memukau bagai dewa - dewa legenda Yunani yang tampan, seorang pemuda yang bercita cita me...