BAB 19 : ( Flash Back ) Sebelum Devandra Siuman

467 79 2
                                    

Pov Devandra

Dari lantai panggung Cafe,  Devandra yang tiba - tiba jatuh tersungkur,  merintih panjang. Pikiran yang kacau membuatnya terserang Panic Attack. Dengan pandangan mata yang kian tidak jelas, Devandra sebisanya  mencari - cari sosok Anzu,  berharap saudara kembarnya bisa menolong, tapi sia - sia belaka.

Sementara bayangan orang–orang di sekelilingnya, silih  berganti, bagai berputar–putar, berteriak–teriak membuat kepala Devandra terasa berdenyut sakit.

Anzu, plis di mana lo? Devandra mengeluh panjang. Dipaksakannya matanya untuk tetap terbuka, tapi semuanya terasa begitu berat menghimpit, seolah ada yang menekannya kuat–kuat ke dalam kegelapan tak berdasar. Bayangan orang - orang lama - kelamaan hilang, hanya suara– suara saja yang samar–samar masih bisa dia dengar. Apa yang sedang mereka bicarakan?

“Kasihan anak ini. Jeffri menemukannya terlantar di depan pagar rumahnya. Sekarang dia harus sendiri lagi,” seorang ibu bersimpuh dengan air mata berlinang memeluk seorang anak laki–laki montok bermata abu - abu  berumur 3 tahun. “Kamu ikut Tante ya? Biar Tante dan Om yang akan menjaga dan merawatmu, kamu tak perlu dibawa ke Panti Asuhan. Kamu begitu manis. Kami semua menyayangimu.”

Seberkas cahaya membuat Devandra bisa melihat lagi, aneh, siapa ibu itu? Siapa anak laki–laki itu? Dimana dia sekarang? Bukankah seingatnya tadi dia berada di Cafe, sedang memainkan biolanya di atas panggung? Dengan susah payah Devandra mendongakkan kepalanya, di atas sana, langit mendung membentang begitu luas.

“Set dah, kapan gue keluar dari Cafe?” Devandra merasa kepalanya sakit sekali seperti ada yang memukulnya dengan palu berat berkali–kali. Pemuda itu berusaha memusatkan pandangannya yang masih belum fokus itu ke depan, ada sebuah acara pemakaman. Anak bermata abu–abu itu masih ada, lewat matanya, Devandra seperti sedang memandangi tubuh Papanya, Jeffri, yang terbujur kaku di bawah sana, di dalam lubang besar makam yang sedang ditimbun.

“Papa?” Devandra memaksakan dirinya untuk bangun, seolah baru sadar akan sesuatu. “Ini...Ini gak mungkin! Ini pemakaman Papa!...Papa?!”

Bagaimanapun Devandra berusaha berteriak, tapi tak ada seorangpun yang bisa mendengar suaranya, semua bahkan seperti tidak melihatnya, semua orang cuma menunduk memandangi lubang besar makam papanya yang perlahan-lahan ditimbun tanah. Devandra berjuang keras untuk bangun, menyeret–nyeret kakinya yang terasa berat. Anak itu! Siapa anak itu? Apakah...Apakah dia..

“Papa, papa, maapin Dev, plis Dev mohon, bukan maksud Dev untuk membunuh Papa. Dev sangat sakit, Papa, Dev butuh darah..," Devandra tersungkur jatuh, kegelapan tiba–tiba kembali datang mencabik–cabik penglihatannya. Seperti ada tangan raksasa yang merenggut tubuhnya dari pemakaman itu dan membawanya berputar–putar entah kemana.

Devandra merasa tubuhnya melayang–layang seperti terbawa angin tornado yang kemudian menghempaskannya ke sebuah lantai yang keras dan dingin.

“Oh shit!” Devandra mengerang kesakitan. Di depannya tampak anak laki–laki yang tadi dilihatnya di pemakaman, tapi anak itu kini sudah lebih besar, kurang lebih berumur 12 tahun. Anak itu sedang duduk pada anak tangga paling atas di dalam sebuah rumah besar bertingkat dua. Devandra samar–samar seperti mengenali rumah siapa itu.

“Hey!” Devandra berusaha memanggil anak laki–laki itu. Anak itu tampaknya sedang menangis, sepertinya sedih sekali, tangannya meremas - remas ujung bajunya.

“Mama...Mama, Maapin Dev..,” air mata meleleh satu–satu di pipi anak laki–laki yang bermata abu–abu itu. Devandra merasa kepalanya mau pecah karena sakit, dia pasti sudah gila, anak laki–laki itu bernama Devandra juga.

“Gue tau sekarang. Itu - itu gue waktu berumur 12 tahun!” Devandra melihat Papa angkatnya, Papa Ardi, datang menghampiri dirinya yang masih berumur 12 tahun itu dari belakang.

02.00 ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang