Bab 36 : Cinta Tak Pernah Berakhir

987 100 29
                                    

Tasya dan Milly tak kuasa menahan air mata mereka,  sementara Chicco hanya berdiri membisu dengan wajah tampak sangat menderita.  Mereka, begitu sedih memandangi Kanaya dari balik jendela berjeruji sebuah ruang isolasi di Rumah Sakit Jiwa.

Trauma kematian kedua orang tuanya, dan kini harus ditambah dengan kematian Devandra yang begitu tragis, membuat Kanaya yang rapuh tak kuat menanggungnya. Pertahanannya runtuh. Mentalnya hancur, hingga Dokter memvonisnya terkena Skizophrenia.

"Kasihan Aya..," Tasya terisak. "Bestie gue..,"

Di samping Tasya, tangis Milly semakin menjadi, tak tertahankan.

"Kenapa nasib Aya begitu buruk? Gue sayang banget ama Aya, dia udah seperti sodara bagi gue," tangis gadis itu begitu pilu, hingga Tasya harus memeluknya.

"Iya, Mil. Gue juga sayang ama Aya..,"

"Aya paling gak suka kalo kita ribut, Aya...Aya tuh orangnya gak kuat, jadi kita yang harus ngelindungin dia terus ...Aya..Dia...," Milly tidak meneruskan kata - katanya karena tertutup dengan isak tangisnya. 

Sementara Chicco yang berdiri di samping mereka, hanya mengerutkan kening, dengan tangan mengepal.

"Seandainya kita gak pernah berjumpa dengan Devandra, pasti kita masih bahagia berempat...," geramnya lirih, membuat Tasya dan Milly menoleh padanya. "Devandra emang ngehancurin semua..,"

Devandra menghancurkan semua? Tasya dan Milly tidak tau harus berkata apa, mata mereka mengarah pada Kanaya yang duduk sambil memeluk lututnya di atas tempat tidur dalam ruangan isolasinya. Terus menangisi Devandra.

Bahkan ketika berbulan-bulan berikutnya Tasya, Milly dan Chicco menjenguk Kanaya di Rumah Sakit Jiwa, mereka begitu putus asa mendengarkan kata–kata dokter yang mengatakan bagaimana kondisi Kanaya yang semakin hari semakin buruk, dan bagaimana perawat–perawat yang bertugas piket pada malam hari, selalu menyaksikan Kanaya bangun pada pukul dua dini hari, berdandan cantik, dan tiba–tiba berseru gembira, ‘Devandra, gue tau lo pasti kembali! Gue tau lo gak mungkin ninggalin gue, iya kan? Gue Bidadari Cantik lo, iya kan?'

Tasya dan Milly cuma bisa menangis dan menangis, seolah tak sanggup menerima krnyataan tentang keadaan Kanaya sahabat akrab mereka. Dan Chicco tampak begitu sedih hingga tak bisa bersuara lagi.

Pada saat jam bezuk berakhir dan mereka harus meninggalkan Kanaya di ruang perawatannya,  Chicco bahkan terlihat enggan beranjak dari tempatnya berdiri. Matanya masih tak lepas memandangi Kanaya yang sedang terbuai dalam dunia semunya tak peduli dengan sekelilingnya.

“Segitu dalamkah cinta lo dengan Devandra?" Bisiknya dengan mata berkaca - kaca. "Sampe lo jadi kayak gini pun, masih Devandra yang lo harapkan?"

Kanaya tak bereaksi apa - apa dengan kata - kata Chicco, mungkin malah tidak mendengarkan.

"Sampe lo gak pernah ngeliat gue? Yang selalu bareng lo selama ini," Chicco perlahan membelai rambut Kanaya. "Dari dulu, sejak pertama kenal lo,  gue udah suka ama lo, Aya...Lebih dari seorang sahabat..,"

********

Saat sudah berjam–jam yang lalu Tasya, Milly dan Chicco pergi meninggalkan Rumah Sakit jiwa, hening suasana malam  terusik oleh denting lagu Fur Elise milik Beethoven yang mengalun lirih dari sebuah kotak musik, bersumber dari ruang perawatan Kanaya.

Dalam keremangan ruangan itu, Kanaya bangkit dari tempat tidurnya, dan mulai duduk menyisir rambutnya perlahan–lahan, tersenyum - senyum sendiri, sesekali  terdengar suaranya bersenandung kecil, seolah sedang begitu ceria menunggu sesuatu yang sangat membahagiakan hatinya.

Tepat pukul dua dini hari, balerina kecil pada kotak musik itu tiba - tiba berhenti berputar walau lagu Fur Elise belum selesai mengalun. Kanaya  meletakkan sisirnya dan menoleh.

“Gue tau lo pasti datang..,"

Gadis itu bangkit, dan tersenyum senang pada sosok jangkung yang kini  sudah berdiri begitu gagah di hadapannya, sedang menatapnya begitu syahdu. Seorang pemuda tampan bagai Dewa - dewa mitos Yunani, berambut hitam bagai arang,  berkulit putih seperti salju, dengan bibir merah muda yang merekah, begitu manis membalas senyum Kanaya.

Tangan sosok itu mengembang, seolah dia begitu rindu menunggu Kanaya menghambur ke dalam pelukannya. Sosok itu adalah Devandra....

02.00 ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang