BAB 29 : Bawa Dev Pergi, Mama

394 82 1
                                    

“Maafkan aku, Nehan. Maafkan, aku tidak bermaksud menelantarkan kalian dan lupa untuk menjemput kembali. Aku..Aku sudah berusaha untuk datang kembali ke rumah itu. Tapi, tapi..,” Yuura tak dapat meneruskan kata-katanya karena terlalu dikuasai oleh emosinya.

Devandra tidak tau apakah dia harus bergidik atau merasa iba pada Yuura. Pemuda itu memandang Yuura yang sedang menangis tersedu-sedu di sampingnya.

“Semua itu bukan kesalahan lo,” kata Devandra pelan. “Kecelakaan itu emang gak bisa dihindarin.”

Tapi kata-kata Devandra justru membuat Yuura makin keras menangis dan sekarang perempuan itu menangis sambil membelai wajah Devandra.

“Anak malang, anak malang,” katanya. "Aku juga ceroboh, membuat diriku tertangkap oleh Tetua - tetua Kerajaan Maimun, mereka membuatku terkurung dalam tubuh kucing sialan itu, bertahun - tahun lamanya, hingga aku menjadi semakin sulit mencari kalian!"

Devandra teringat dengan kucing yang dibunuhnya saat di sekolah, tempo hari. Ya sejak itulah dia jadi diikuti oleh Yuura. Pemuda itu mengerutkan kening,  menjauhkan kepalanya dari tangan Yuura yang masih saja membelai wajahnya.

"Aku sungguh beruntung bertemu kamu, karena kamu membunuh kucing itu, hingga arwahku terlepas dari tubuhnya," lanjut Yuura.

“Yuura, gimana Mama bisa sampai ke sumur ini? Dan di mana Papa sekarang?” tanya Devandra kemudian. Yuura menyeka air matanya, terdiam untuk beberapa lama sebelum akhirnya menjawab.

“Kecelakaan itu membuat aku bisa menyebrang ke dunia ghaib, dan menemui Yang Mulia Pangeran. Mereka ternyata menghukum Yang Mulia Pangeran, sehingga Yang Mulia Pangeran tidak bisa lagi menyebrang ke dunia manusia.”

“La-lalu Mama?"

“Yang Mulia Pangeran bilang, Ayah dan Pamannya membawa Nayla pergi dan menyekapnya di sumur ini.”

Wajah Devandra memucat karena dapat membayangkan apa yang terjadi selanjutnya pada Mamanya.

“Mereka menyekap Nayla di dalam sumur ini dalam keadaan hidup. Dan tidak pernah mengeluarkannya lagi sampai sekarang,” lanjut Yuura dengan suara gemetar.

"Sa-sampai  sekarang?" Kering tenggorokan Devandra saat mengucapkannya.

“Aku  terlambat untuk menolongnya. Nayla yang malang, aku  terlambat,” Yuura menutup wajahnya dengan tangan. “Sampai akhir hayatnya, Nayla menggenggam erat kotak kayu itu. Karena dia pasti berharap suatu hari ada orang yang menolongnya keluar dari sumur ini, sehingga dia bisa memberikan kotak itu padamu dan saudaramu Neyzar. Ta—tapi tak pernah ada yang datang menolongnya. Tak pernah ada. Nayla tidak bisa menjerit minta tolong, karena Nayla bisu. Dia tetap tersekap sampai aku menemukan sumur ini atas petunjuk dari Yang Mulia Pangeran. Tapi, semua sudah terlambat. Nayla sudah terlalu lama di sini. Dia tidak bisa bertahan.”

Devandra memandang kerangka Mamanya dengan mata abu-abunya. Lama dia menatap dalam diam, seolah sulit baginya untuk menerima kisah tragis itu.

Sesaat sumur itu sunyi tanpa suara. Yuura  menyentuh bahu Devandra karena melihat pemuda itu terdiam begitu lama.

“Ne- Nehan, jangan sedih ya, jangan nangis..," Yuura iba melihat mata abu - abu Devandra berkaca - kaca. Devandra tersentak, dan memalingkan wajahnya ke arah lain, seolah berusaha menyembunyikan air mata yang sebetulnya tidak bisa dia tahan lagi.

“Anak malang, aku tau semua ini pasti berat untukmu,” kata Yuura sambil membelai rambut Devandra, mencoba menghibur.

“Anzu,”  Devandra  tiba–tiba menatap Yuura.

“Anzu? Maksudmu, Neyzar?”

“Anzu masih di luar sana,” suara Devandra hampir—hampir tidak terdengar, tapi cukup membuat Yuura berdiri.

“Be—benar!! Saudaramu! Oh, tidak! Saudaramu, Neyzar! Aku  sudah terlalu lama di sini!” Yuura nyaris menjerit histeris. “Aku harus menolongnya juga!”

Yuura tiba–tiba melayang tinggi dan menghilang, meninggalkan Devandra yang masih meringkuk di dalam sumur. Si mata abu - abu itu menengadah ke atas, memperhatikan remang-remang langit subuh yang sudah mulai menampakkan sinarnya. Sudah pagi. Apakah, apakah Yuura masih sempat menemukan Anzu? Devandra tau akan sulit menemukan Anzu kalau hari sudah terang.

Devandra merasakan tubuhnya sudah lemah menggigil, karena kedinginan yang amat sangat. Kedua tangannya menyilang, memeluk tubuhnya sendiri, berusaha mencari kehangatan, walau itu sia - sia.

Devandra akhirnya kembali memandangi kerangka Mamanya. Ada rasa yang begitu menusuk-nusuk setiap kali memandangi kerangka yang berwarna hijau lumut itu. Ada luka yang tergores begitu besar dan menyakitkan, sehingga Devandra merasakan seluruh tubuhnya nyeri sampai ke ujung-ujung jemarinya.

Pemuda itu tidak tau harus menyalahkan siapa? Pada Mama - Papanya yang sudah melahirkannya menjadi mahluk setengah manusia setengah mahluk halus yang selalu butuh darah? Atau pada mahluk-mahluk halus yang sudah memisahkan Mama - Papanya? Atau pada nasib mereka yang begitu buruk?

“Ma - ma..,” Devandra perlahan meraba kerangka Mamanya dengan tangan yang bergetar.

Pemuda yang berwajah bagai dewa - dewa legenda Yunani itu merasa dia mulai berhalusinasi karena begitu kedinginan atau mungkin sedang bermimpi, tapi dia melihat kerangka Mamanya mulai bergerak-gerak. Devandra  mengerutkan keningnya.

“Oh Ss - shit..,"

Ada sesuatu yang berwarna kemerahan mulai merambat memenuhi kerangka berwarna hijau lumut itu. Tangan kurus kerangka itu mulai mengembang bersemu menjadi sepasang tangan yang indah.

Mega-mega merah muda melayang memenuhi lingkaran dinding sempit sumur tua bagaikan helai-helai bulu sayap bidadari-bidadari surga yang perlahan turun mulai membalut kerangka itu.

Bunyi kecipak air sumur terdengar begitu keras seiring dengan bangkitnya sesosok tubuh berbalut busana merah muda. Seorang perempuan cantik berambut panjang. Devandra terkesima memandangnya.

Percikan air yang mengibas dari rambut panjang  perempuan itu membasahi wajah Devandra. Pemuda itu mengusap matanya, seolah tak percaya.  Tubuh semampai yang begitu menawan, kini berdiri di hadapannya. Wajah perempuan itu syahdu, begitu manis, begitu kontras dengan kusamnya warna dinding-dinding batu sumur tua. Perempuan itu bagai dewi-dewi kahyangan yang turun dari langit. Dia menatap Devandra dengan sorot matanya yang lembut.

“Nehan anakku, apakah itu kamu? Sudah lama Mama menunggumu di sini, Mama rindu, Nak. Sangat merindukanmu,” perempuan itu tidak bersuara, hanya menatap, tapi Devandra seolah mendengar kalimat itu terucap di telinganya. Tanpa sadar, Devandra  mengulurkan tangannya.

“Dev juga rindu...Peluk Dev, Mama...Peluk..,"

Perempuan itu tersenyum dan mengembangkan tangan. Devandra memejamkan mata, saat tubuhnya dipeluk erat. Air mata meleleh dari mata abu - abunya, Devandra merintih.

"Bawa Dev pergi, Mama...Dev, capek...Dev gak kuat lagi....Semuanya terlalu sulit buat Dev...,"

02.00 ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang