Begitu tiba di rumah, Kanaya langsung mengurung diri di dalam kamarnya, walaupun sahabat - sahabatnya sudah berkali-kali mengetuk pintu kamarnya, berusaha membujuknya tapi Kanaya tak menggubris.
Gadis itu menelungkup di tempat tidurnya sambil menangis. Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan Devandra? Ke - kenapa dia jadi kayak gitu? Matanya jadi putih se - seperti setan...Dia - dia kayak gak kenal gue..Dia menggeram kayak harimau....Dia meminta darah? Kanaya begitu terpukul memikirkannya. Teringat olehnya Chicco yang sering menyebut Devandra sebagai Vampire. Ya Tuhan, Kanaya mengucap lagi. Ke—Kenapa? Kenapa harus Chicco yang benar? Devandra kayak...Kayak...Vampire...
Air mata Kanaya berlinangan tak berhenti. Terpandang oleh Kanaya, fotonya bersama Devandra yang ada di samping tempat tidur, Devandra tampak sedang tersenyum begitu menawan di sana. Tapi Kanaya memandangnya dengan penuh kengerian. Semuanya begitu menakutkan, begitu horror. Gadis itu tak bisa melupakan saat Devandra mencekik lehernya. Sakit. Leher itu sampai membiru dicekik Devandra.
Kanaya menatap nanar pantulan dirinya di cermin yang tergantung pada dinding kamarnya, perlahan dia bangkit mengusap - usap lehernya. Air matanya meleleh untuk kesekian kalinya Sakit dilehernya tak sesakit perasaannya. Cintanya dengan Devandra baru saja bersemi. Kini semuanya mendadak berubah menjadi sangat mengerikan. Oh Tuhan. Siapa Devandra sebenarnya? Atau apa? Air matanya tidak hanya meleleh, kini Kanaya menangis sejadi-jadinya di tempat tidur.
********
Sementara Devandra yang masih tersandar di kursi dalam apartemen karena tangannya masih terbelenggu borgol, akhirnya siuman. Pemuda bermata abu - abu itu terbatuk- batuk, menyeringai kesakitan, karena kepalanya terasa nyeri akibat hantaman vas bunga Chicco Subuh tadi. Tangannya yang tidak terbelenggu borgol, gemetar mencoba mengusap kepalanya yang sakit. Devandra merintih panjang, penyakit itu masih menyiksa tubuhnya karena belum ada darah segar yang mengalir ke tenggorokannya.
"Ssakit...Sakit banget..," Devandra ingin meringkuk di kursinya, tapi posisinya sangat tidak nyaman karena tangan yang satu masih terborgol erat di pegangan kursi. Hingga pemuda itu akhirnya tidak hanya merintih, tapi menangis kesakitan.
"Sa- sakit banget...Sakit...Plis, gue gak sanggup lagi...," air mata meleleh dari mata abu - abunya. Devandra nyaris menyerah. Tangannya yang terbebas habis digigiti semata - mata untuk mendapatkan darah walau setetes. Seluruh tubuhnya menggigil karena kesakitan, napasnya tersengal - sengal.
"Papa! Mama! Kalian dimana??! Dev gak sanggup lagi! Demi Tuhan, Dev sakit banget...AAAARRGHH!!!"
Raungan Devandra akhirnya memenuhi ruangan apartemen itu. Pemuda begitu frustasi, dia tak bisa menahan lagi, dengan membabi - buta dia menarik paksa tangannya yang terborgol hingga pergelangannya lecet mulai mengucurkan darah.
"Aaargh!! Aarrgh!!"
Pukul dua dinihari, saat tenaga Devandra sudah habis karena menghentak, melonjak, menendang, berteriak - teriak bagai gila karena kesakitan, bahkan sudah tersungkur di lantai apartemen bersama kursinya sekaligus. Hingga tak ada suara lagi yang bisa keluar dari bibir merah mudanya, kecuali isakan tangis. Wajah Devandra sudah sangat pucat, tubuhnya yang menggigil mulai membiru.
Mata abu - abu Devandra nyalang, menyapu ruangan apartemen dari lantai. Jika gue harus mati sekarang, biar saja, gue udah capek ngerasa sakit...Capek dibilang anak terkutuk...Capek dikejar - kejar mereka...Mahluk - mahluk itu...
Pandangan Devandra terhenti pada sebuah benda mungil berwarna pink, tergeletak di lantai berkarpet itu. Sebuah jepit rambut.
Dalam kesakitannya, Devandra berusaha bergeser dari tempatnya, meraih jepit rambut itu. Air matanya semakin meleleh. Rasa cinta yang mendalam membuat otaknya kembali bisa mengingat, itu jepit rambut Kanaya.
"Ka - Kanaya? Lo dimana, Kanaya...Oh Tuhan, gu - gue pasti udah nyakitin Kanaya...," rintihnya putus asa. "Gue pasti udah nyakitin...Aaarrghh!"
Devandra memukuli kepalanya sendiri dengan tangannya yang bebas.
"Gue udah nyakitin Kanaya! Gue emang pantas mati! Gue iblis! Gue cinta dia tapi gue sakiti dia...Aaargh!! Ampuni gue Kanaya! Ampuni gue..Aaaargghh!!!"
Devandra tak bisa berpikir apa - apa lagi, semuanya terasa gelap, buntu. Nyaris terlintas keinginan untuk bunuh diri.
Brruk!
Seonggok benda menjijikkan, masih berdenyut dan penuh darah, tiba - tiba seperti dijatuhkan di depan Devandra yang masih tersungkur di lantai.
"Bro..Maaf...Gue harap lo mau memaafkan gue..," terdengar suara serak seseorang yang sudah ditunggunya sejak dinihari kemarin. Anzu. Saudara kembarnya yang pengecut itu akhirnya muncul. Devandra menggeram gusar. Dia tau Anzu butuh dia untuk menghisap darah, saudaranya itu pulang karena pasti sedang kesakitan juga seperti dia.
"Lo brengsek!! Setaan!! Ke - kenapa baru muncul sekarang lo?! Teriak Devandra frustasi.
"Maafin gue...Ini gue bawain jantung manusia...Masih segar...Lo bisa menghisap darahnya...Plis hanya itu yang bisa gue bawa...," Anzu menjatuhkan diri di depan Devandra. Tubuhnya terlihat begitu ringkih, membiru, begitu menyeramkan. Kedua tangan Anzu yang jemarinya berkuku panjang itu penuh lumuran darah.
Devandra yang sudah putus asa, tak sanggup bertanya - tanya lagi jantung siapa yang dibawa Anzu untuknya. Rasa sakitnya yang sudah tidak tertahankan lagi, membuat pemuda itu langsung menyambar jantung yang masih berdenyut itu dengan tangannya yang tidak diborgol dan dengan lahap menghisap darahnya.
Setelah rasa sakitnya mulai berkurang, terganjal darah yang memenuhi jantung itu, Devandra mengangkat wajahnya, menatap Anzu.
"Darimana lo dapat jantung ini? Lo - lo membunuh..," tanyanya.
Anzu cuma mengangkat bahu, tak menjawab.
"Lo gak perlu tau darimana, tapi lo mau memaafkan gue kan? Plis?" Pinta Anzu. Devandra hanya membuang muka.
"Lo udah telat untuk minta maaf..LO UDAH TELAT, BRENGSEK!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
02.00 ( Tamat )
HorrorKanaya yang sedang berduka, menghadiri pemakaman orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan, tak sengaja bertemu dengan Devandra Sosok Devandra yang begitu memukau bagai dewa - dewa legenda Yunani yang tampan, seorang pemuda yang bercita cita me...