BAB 16 : Perempuan Tanpa Sklera Mata

486 87 0
                                    

Note :

Maap, ini Bab (18++ ) ya...🙏
Mohon bijaksana dalam membacanya.

Para bocil silahkan menyingkir, kalo perlu skip Bab ini, wkwkwk....😅

====================================

Pov Devandra

Seorang laki–laki duduk termenung di tepi tempat tidur memandangi anak laki-lakinya yang baru berumur 3 tahun. Anak kecil bertubuh montok itu tampak sedang terlelap tidur, wajahnya yang  begitu polos tanpa dosa membuat laki - laki itu menghela napas, dan membelai kepala si kecil.

Sekarang sudah dini hari, pukul 2 tepat, tapi laki–laki itu merasa tidak mengantuk sama sekali.

“Ah, anakku, hari ini genap 3 tahun sudah ibumu pergi meninggalkan kita," bisik laki - laki itu getir. "Sebetulnya ada apa denganmu, Nak? Kematian seolah mengikuti hidupmu. Bukan hanya ibumu,  pengasuh - pengasuhmu, semua  berakhir dengan tragis saat merawatmu,  Papa sangat khawatir, Nak,"

Laki – laki itu menutup wajahnya dengan murung. Tak pupus rasanya duka kehilangan seorang istri yang sangat dicintai. Apalagi kepergiannya begitu aneh. Menjadi misteri besar bagi pihak kepolisian dan tenaga medis, karena sampai sekarang mereka tidak bisa menemukan sebab kematian atau siapa yang sudah membunuh Raina istrinya.

“Papa..,” tiba–tiba anak laki–laki itu terbangun dan merintih. “Sakit, Papa, sakit,"

Laki – laki itu tersentak memandang anaknya.

“Ada apa Nak? Apa yang sakit??” tanya laki–laki itu terkejut sambil buru–buru memeriksa anaknya. Anak kecil itu memandang papanya,  mulai menangis.

“Sakit, Papa..,”

“Sayang, kamu kenapa?” laki–laki itu buru–buru meraba kening anaknya dengan risau, mengira si kecil terserang demam. Anak kecil itu tampak menggigil kesakitan, napasnya terengah–engah di sela tangisannya yang semakin keras.

“Adek Anzu...Adek..,” sambil menangis anak itu menunjuk–nunjuk ke sudut kamar. “Adek Anzu datang...”

“Adik siapa?” laki–laki itu memandang ke sudut kamar.

Sesosok tubuh mungil muncul dari kegelapan sudut kamar. Sosok itu begitu mirip dengan anaknya, laki - laki itu seolah sedang memandang pantulan cermin dari si kecil, segalanya serupa benar.

"Si - siapa kamu?" Tak terasa laki - laki itu berdiri, terpaku menatap sosok kembaran anaknya yang sekarang sedang tersenyum padanya, dan mengembangkan kedua tangan seolah  minta dipeluk.

“Papa?” kata sosok mungil itu.

Sebelum laki–laki itu menyadari siapa sosok mungil misterius itu, tiba–tiba lehernya terasa sakit seperti ada yang mengigit. Laki–laki itu terjengit dan  menoleh.

“Aaarrrgghhh!!! Tidaaak!!!”

Teriakan Devandra yang tersentak bangun dari tidur seolah terdengar sama kerasnya dengan teriakan laki–laki itu.

“Mimpi...Mimpi itu lagi,” napas Devandra terengah–engah bagaikan baru saja berlari jauh. Mata abu–abu pemuda itu nyalang memandangi jam dinding yang berdentang dua kali. Sudah pukul 2 dini hari. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. “Ke - kenapa gue selalu dihantuin oleh mimpi - mimpi itu?"

Tangan Devandra bergetar, menutup kepalanya dengan kedua tangan, begitu depresi. Tubuhnya duduk meringkuk di atas tempat tidur.

“Gu - gue tau... Semua kematian–kematian itu gara  - gara gue..,” Devandra merintih. Mata abu - abunya melirik lembaran - lembaran Surat kabar yang berserakan di meja belajar.

02.00 ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang