Prolog

5.4K 305 30
                                    

Dalam keremangan sebuah kamar bayi,  denting lirih lagu Fur Elise milik Beethoven yang mengalun membuai dari kotak musik mungil, seolah tak bisa membuat seorang bayi laki – laki berhenti menangis, menendang – nendang dalam keranjang ayunan tidurnya. Entah apa yang membuatnya menangis. Ibu sang bayi begitu gundah mengayun keranjang ayunannya.

“Tenanglah sayang, apa yang menyusahkanmu, Nak? Kenapa kamu tidak berhenti menangis? Sudah satu jam Ibu mengayunmu, ini sudah pukul 2 dini hari tapi kamu tidak juga tidur.  Ada yang sakit, sayang?”

Sang ibu meraba kening bayinya, mencari tau barangkali demam atau apa yang merisaukan si bayi. Tapi suhu tubuh bayi itu baik – baik saja. Ibu itu memandangi bayinya nyaris putus – asa, diangkatnya si bayi dari keranjang ayunan, kemudian didekapnya erat, berharap bisa membuat si bayi berhenti menangis. Tapi  si bayi tetap menangis.

Si bayi sesungguhnya begitu molek, dengan sepasang mata abu – abu yang jernih, berkulit putih bagaikan salju yang disepuh rona kemerahan, terutama pada kedua pipi montoknya, sangat menggemaskan, bibir mungilnya yang berwarna merah muda, membuat siapa saja yang melihat pasti jatuh hati padanya. Dan itu yang terjadi saat pertama kali sang ibu – seorang perempuan muda, bersama suaminya, menemukan bayi laki – laki bermata abu – abu itu tergolek menangis di depan pagar rumah mereka beberapa hari yang lalu. Entah siapa yang sudah begitu tega meninggalkan bayi molek itu begitu saja, hanya berbungkus sehelai selimut. Tak ada tanda pengenal, surat atau apapun yang bisa dijadikan petunjuk, siapa orang tuanya, siapa  keluarganya, atau darimana sang bayi berasal. Hanya seuntai kalung rantai mungil berbandul pentagram melingkar pada leher sang bayi. Rasa iba dan terkesima dengan kemolekan si bayi, membuat pasangan suami - istri itu tanpa ragu memutuskan untuk merawat si bayi.

“Oh, mungkin kamu sudah lapar lagi ya, Nak? Mau Ibu buatkan susu?” terdengar sang ibu berkata lagi, tapi denting lagu Fur Elise itu tiba- tiba terhenti. Ibu muda itu nyaris saja menjatuhkan bayi yang dipeluknya karena kaget. "Ya Tuhan...,"

Sebuah suara tangisan lain mendadak begitu menulikan pendengarannya.

“Tangisan siapa ..,” sang ibu hanya bisa terpana, membeku di tempatnya berdiri, menyaksikan keranjang ayunan kosong itu mulai bergerak perlahan, mengayun sendiri, seolah ada bayi yang bergerak – gerak di dalamnya.

Bayi? Bukankah bayinya sekarang ada dalam pelukannya? Ja - Jadi siapa yang ada di dalam keranjang ayunan itu? Dengan tangan yang  bergetar begitu kuat, sang ibu memberanikan diri, meraih keranjang ayunan.

"Oh?"

Seorang bayi tergolek menangis di dalam keranjang ayunan. Jantung ibu muda itu bagai berhenti berdetak. Bayi itu, bayi siapa?  Serupa benar dengan bayi yang ada dalam pelukannya. Mata abu - abu bayi itu, rambutnya, bagaikan kembar! Dari mana datangnya bayi itu? Kenapa  tiba–tiba bisa ada di dalam keranjang ayunan? Apakah bayi itu ... Apakah ....

“Ya Tuhan.,” ibu itu mendekap mulutnya dengan wajah pucat pasi, dia masih terpaku memandang bayi yang di dalam keranjang.

Bayi misterius itu tiba–tiba berhenti menangis dan kepalanya bergerak perlahan membalas memandang ibu muda itu. Kedua bola mata abu –abu bayi misterius itu begitu jernih sehingga nyaris seluruhnya berwarna putih, begitu putih. Bahkan warna putih itu tampak semakin melebar, terus melebar, hingga keluar dari matanya. Bagai lilin yang meleleh, mengalir perlahan ke pipi sang bayi.

Aaakh!!! Tidaak!!” jeritan histeris ibu muda itu seolah hendak memecah keheningan malam pukul 2 dini hari itu.

Terlambat, ketika suami ibu muda itu menerjang masuk ke dalam kamar bayi. Terlambat!!

“Raina?! Ada apa?! Apa yang terjadi dengan anak kita?”

Tapi laki–laki itu hanya menemukan Raina istrinya sudah tergeletak kaku di lantai. Mata perempuan muda itu terbelalak kosong dengan luka bekas gigitan menganga di lehernya. Tak ada darah yang mengalir dari leher itu, seolah darah itu sudah mengering, terhisap oleh ‘sesuatu' yang sangat rakus. Sedangkan bayinya tergolek di samping tubuh sang istri, justru penuh darah dan menangis begitu keras.

“Rainaa!! Tidak!!” teriakan laki–laki itu membahana keras.

02.00 ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang