BAB 1 : Si Mata Abu - Abu

2.7K 207 6
                                    

Pov Kanaya

Tujuh belas tahun kemudian, setelah peristiwa mengerikan itu, peristiwa yang sulit dilupakan semua orang, di suatu kota di dekat pantai.

Seorang gadis manis berambut panjang ikal sedang menghadiri pemakaman kedua orang tuanya. Gadis itu, Kanaya, terlihat begitu sedih, air matanya mengalir entah sudah berapa banyak. Orang tuanya meninggal pada saat yang bersamaan pada suatu peristiwa kecelakaan mobil. Begitu tragis.

Kanaya tidak tau, tapi dia merasa semua berjalan begitu lambat dan semu bagai sedang terjebak di dalam mimpi yang panjang dan menyakitkan. Mulai dari langkah kaki orang–orang yang mengusung keranda jenazah Mama dan Papanya, prosesi pemakaman, hingga satu demi satu sanak - saudara dan teman–teman pergi meninggalkan tanah pemakaman itu. Dibelainya papan nisan Mama dan Papa yang dipasang berdampingan. Hanya tinggal dia sendiri di situ, tapi Kanaya serasa tak sanggup menggerakkan kakinya untuk bangkit dan meninggalkan tepi makam Mama dan Papa yang sangat dia cintai.

“Mama, Papa, kenapa kalian pergi ninggalin Aya? Kenapa?” rintih Kanaya dalam tangisnya. “Aya sendirian sekarang, Mama, Papa...Aya takut..,"

Kanaya mengusap air matanya yang meleleh untuk ke sekian kalinya dengan punggung tangannya. Rinai hujan yang mulai turun satu per satu membasahi tanah pemakaman, petir menyambar begitu mengerikan, tapi Kanaya seolah tidak peduli, gadis itu hanya menangis dan menangis.

"Kenapa takdir Aya begitu buruk..," tangisnya. "Kenapa, Tuhan?"

Kanaya terjengit, karena tiba - tiba rinai hujan tidak lagi membasahi tubuhnya. Saat menengadah, sepasang mata abu–abu yang begitu jernih bagai kristal, tampak sedang menatapnya di bawah naungan sebuah payung hitam besar. Payung itu yang ternyata membuat rinai hujan tak lagi membasahi Kanaya.

"Ssi - siapa?" Hanya itu yang keluar dari mulut Kanaya.

Gadis itu terkesima, membalas tatapan itu.  Dia, bukan saudara atau teman sekolah Kanaya, dia seorang pemuda tak dikenal,  seusia Kanaya, posturnya jangkung, berpakaian serba hitam, begitu kontras dengan warna kulitnya yang putih seperti salju. Rambutnya hitam legam, berponi, sekilas seperti potongan rambut khas ulzzang boy.

Bagai tersihir, Kanaya bangkit, hingga berdiri berhadapan dengan pemuda itu.  Pandangan mata Kanaya serasa sulit beralih dari pemuda bermata abu - abu itu, Ya Tuhan, siapa dia? Wajahnya begitu sempurna, begitu spesifik, kayak wajah Dewa - dewa Legenda Yunani yang tampan, iris mata abu - abunya...Ooh, begitu indah, begitu jernih, jangan bilang dia memakai contact lense, ta - tapi ka - kayaknya itu asli deh, Kanaya menggigit bibirnya, hidungnya mancung seperti bule, bibir yang bersemu merah muda, walau gak ada senyum di sana. Tapi..Tapi...Ooh...

Sorot mata itu, kenapa sih dia natap gue kayak gitu? Plis, jangan natap gue, plis, Ya Tuhan, Kanaya membatin, akhirnya terpaksa menundukkan wajah karena tak sanggup menentang sorot mata itu lama - lama. Sorot mata abu - abu pemuda itu, Kanaya tidak tau,  begitu lembut, begitu teduh, tatapannya bagaikan bisa membius siapa saja yang membalas tatapannya.

"Lo..Lo.," Kanaya bagai kehilangan kata - kata.

"Please jangan nangis,"

Napas Kanaya nyaris berhenti, karena pemuda itu tiba - tiba bersuara.  Walau awalnya terlihat ragu - ragu, tangan pemuda itu  terangkat untuk menyentuh pipi Kanaya, berusaha menghapus air mata gadis itu. Tangan itu dingin dirasa Kanaya.

"G -gue...," Kanaya begitu terpana, hingga hanya bisa terbata, dan menerima begitu saja saat pemuda itu menyodorkan payung padanya.

“Aya!" Tiba - tiba terdengar suara Chicco sahabat Kanaya, menyentakkan Kanaya dan pemuda itu. Chicco datang berlari–lari kecil mendekati Kanaya, juga  membawa payung.
“Ngapain lo berdiri bengong di situ, ayo,  semua udah cemas nungguin lo di mobil, lo  udah kelamaan di makam, tauk.”

02.00 ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang