BAB 27 : Buku Harian Mama Nayla

418 78 2
                                    

Tangan Devandra bergetar ketika membuka halaman demi halaman buku harian tua itu. Dengan penerangan cahaya bulan yang masuk ke dalam sumur itu, Devandra berusaha membaca isi buku itu.

Buku Harianku Sayang,

Tidak ada seorangpun yang mengerti duniaku.
Aku sendiri juga tidak pernah mengerti
Aku berjalan dalam maya
Mendahului kematian
Mendahului petaka

Namaku Nayla Athena. Aku anak satu - satunya Ayah Acchiles, dan Ibu Haliza. Ayah seorang expatriat berkebangsaan Yunani, yang bekerja sebagai seorang peneliti di bidang Etnografi. Sedang Ibu adalah seorang perempuan biasa, berkebangsaan Indonesia.

Kami pindah ke Kampung Maimun saat aku masih balita, karena Ayah harus menyelesaikan risetnya tentang kebudayaan Indonesia yang rutenya berakhir di Kampung ini.

Aku tidak mengira kepindahan kami ternyata membawa begitu banyak petaka dalam hidupku. Sungguh, aku tak mengira.

Seperti yang terjadi malam itu, di malam durjana itu, saat aku masih berumur tujuh tahun, tapi sampai sekarang, hingga umurku sudah tiga belas tahun, aku masih bisa mengingat setiap detail kejadian itu, kejadian yang bagaikan mimpi buruk yang terus berputar-putar di dalam kepalaku.

Aku tak pernah bisa melupakan saat aku terbangun dari tidur dan mengintip dari balik tirai, mataku tersilaukan akan kilatan-kilatan parang berayun ke sana-ke mari menghancurkan pintu rumah kayu kami. Serombongan orang bertubuh besar menerjang masuk.

“Mana anak setan itu? Mana?” Teriak salah seorang dari mereka. Aku ketakutan, karena pasti yang dimaksud mereka adalah aku.

Karena pada siang sebelumnya mereka tak senang aku mengatakan kalau semua ayam-ayam peliharaan mereka akan mati. Dan ayam-ayam itu memang mati beberapa jam setelah aku memberi tau mereka.

Ayam-ayam itu memang akan mati, aku tau. Tapi mereka tidak tau. Dan mereka mengira akulah yang sudah membuat ayam-ayam itu mati. Untung Ayah membelaku sehingga mereka tak jadi memukuliku siang itu. Tapi ternyata mereka masih mendendam dan datang lagi mencariku.

Pada malam durjana itu aku melihat ayahku berdiri di balik lemari, memandang ke arahku. Matanya seolah memberi isyarat agar aku tetap diam di dalam tirai tempat aku mengintip. Tapi aku menggigil melihat Ayah, entah kenapa tiba-tiba aku menggigil. Tubuhku serasa dingin membeku ketika melihat ada sosok lain berdiri menjulang di belakang Ayah. Oh tidak! Itu..Itu Malaikat Maut! Ke—kenapa dia datang pada saat-saat begini? Kenapa?

“Ayaah! Izinkan aku memeluk Ayah!” Aku berlari, dan berlari ke arah Ayah, yang seolah begitu sulit aku mencapainya. “Aku akan sangat merindukan Ayah. Tapi Ayah akan tenang di alam sana.”

“Nayla? Jangaan!” Ayah terkejut.

Kilatan-kilatan parang simpang siur menyambar-nyambar di sekelilingku. Darah muncrat membasahi wajahku. Aku melihat Ayah tau-tau sudah terkapar bersimbah darah di antara kaki-kaki mereka. Aku menjerit sejadi-jadinya ketika mereka memegang kaki dan tanganku.

“Jangaaan!!! Tidaaaakkk!!”

BRAAK!!

Tiba-tiba saja orang-orang bertubuh besar itu melambung tinggi ke udara sebelum terbanting ke lantai kayu rumahku. Mereka pingsan.

Aku melihat ibu berlari-lari dengan orang-orang kampung masuk ke dalam rumah. Ibu segera merangkulku yang masih menjerit-jerit histeris.

“Nayla, Nayla,” tangis ibuku. Aku masih menjerit melengking-lengking walau aku tau itu menjadi jeritanku yang terakhir.

02.00 ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang