BAB 21 : Gulungan Kertas Tua

401 71 0
                                    

Pov Devandra

Devandra duduk di lantai karpet dalam kamar Apartemennya - sejak kematian orang tua angkatnya, dia memang hidup menyendiri di Apartemen, di lantai teratas menjauh dari semua orang. Pemuda tampan itu duduk sambil bersandar  ke dinding, tangannya masih menggenggam erat kalung pentagram yang sudah rusak terinjak Chicco. Mata abu - abu beningnya tampak berkaca - kaca. Keningnya sampai  berkerut, Devandra berusaha keras agar air mata kemarahan itu tidak jatuh.

Dia tidak dikeluarkan dari sekolah, tapi sebagai gantinya dia harus dinikahkan dengan Talitha. Bagi Devandra, percuma tidak dikeluarkan, dia sudah terlalu malu untuk kembali masuk ke sekolah itu, lagipula tak ada yang lebih hancur daripada dipaksa menikah, umurnya baru 17 tahun, belum siap untuk menikah, apalagi harus menikah dengan gadis yang tidak dia cintai.

Tak pernah bisa dia lupa betapa sakit rasanya melihat Kanaya yang memandangnya dengan sedih saat mendengar Chicco mengatakan dia memperkosa Talitha.

Demi apapun, bagaimana  dia harus menjelaskan bahwa Talitha yang lebih dulu memancing perkosaan itu, bahwa Anzu yang melakukan bukan dia, bahwa dia hanya dimanfaatkan tubuhnya untuk memperkosa Talitha...

Devandra melirik sofa yang ada di dekatnya. Bagi mata normal, sofa itu kosong, hanya terlihat seperti ada seseorang yang tidak nampak, sedang berbaring di sana, bergerak - gerak gelisah, dan menjatuhkan bantal - bantal sofa. Itu Anzu. Dan hanya Devandra yang mampu melihat sosoknya di luar pukul dua dini hari. Devandra tau Anzu sedang kesakitan  akibat hajarannya dini hari tadi.

Anzu memang saudara kembarnya, saudara kandung satu - satunya, tapi perbuatan Anzu memanfaatkan tubuhnya untuk memperkosa Talitha, membuat Devandra  sangat marah setiap kali melihat Anzu.

Foto Kanaya yang terpajang dalam figura mungil di meja belajarnya, membuat mata abu - abu itu semakin redup karena sedih memandangi wajah ceria Kanaya dalam foto itu, wajah yang seolah sedang tersenyum manis pada Devandra.

"Maafkan gue, Kanaya, maafkan gue..," rintih Devandra. "Plis, maafkan gue....Aakh,"

Tiba - tiba Devandra memegangi dadanya, terbungkuk kesakitan. Apakah rasa sakit Anzu merajam tubuh gue juga? Pemuda bermata abu - abu itu mengerang, sambil mencengkram kuat baju di dadanya, menahan rasa sakit yang mendadak menyerangnya. Oh, bukan,  penyakit itu, ya penyakit itu datang lagi! Ya Tuhan! Devandra meringkuk kesakitan di lantai karpet  kamarnya.

“Sa—sakit banget...Sakit.. Gue butuh darah...Oh, plis..Gue butuh..,"

Bunyi iphone yang mendadak berdering ribut mengejutkan pemuda berparas menawan  itu.

“Aarrgh!” Devandra yang sedang kesakitan, mendelik marah ke arah iphone. "Diam!"

Iphone serta-merta  melesat keluar dari tempatnya, menabrak dinding dan jatuh berderai berantakan.

Tapi bunyi Bip - bip ribut di pintu apartemen, justru menggantikan bunyi Iphone,   menambah amarah Devandra. Bunyi itu  menandakan ada yang menekan bellnya dari luar.  Mata abu - abu Devandra langsung mengarah pada layar video Door Phone yang terpasang di dekat pintu apartemen.

“Devandra, kenapa lo gak jawab telepon gue?!” wajah seorang pemuda bergaya funky muncul di layar video Door Phone. Itu  Rendy teman band Devandra di Cafe. "Sorry nih, gue tau lo  selalu melarang siapapun datang ke apartemen lo, tapi ada hal sangat penting yang harus gue omongin ke lo..,"

"Bro, ada teman lo..," dari sofa, Anzu tergopoh  bergerak hendak membukakan pintu.

"JANGAN!! JANGAN BUKA PINTU ITU, BRENGSEK!!" Devandra spontan meraung, karena dia tau penyakitnya sedang menyerang, dan jika Rendy masuk...

"Devandra...,"

Tapi tampaknya terlambat, Anzu sudah membuka pintu, penyakit yang menyerang Devandra sudah tentu menyerang Anzu juga, hingga Anzu tidak tahan melihat Rendy yang bagaikan hidangan lezat di mata Anzu, sama seperti Devandra sebetulnya, sudah tidak tahan, dan begitulah tanpa tau ada bahaya yang mengancam, Rendy masuk.

02.00 ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang