Devandra seolah tak punya semangat lagi untuk hidup, begitu depresi, masih terkapar di lantai apartemen, berkali - kali dia menyakiti dirinya sendiri. Borgol di tangannya sudah berhasil lepas, setelah kekuatannya pulih, tak ada kata "Terkunci" dalam kamus hidup Devandra. Anzu sudah pergi menghilang entah kemana setelah Devandra memarahinya.
“Kenapa?! Kenapa gue harus terlahir seperti ini? Kanaya satu - satunya kebahagiaan gue dan gue gak sanggup jika harus kehilangan Kanaya!!" Devandra begitu merana, berbaring terlentang, menghentak - hentakkan kakinya. “Shit! Brengsek! Rrraaagh! Gue bodoh! Bodoh!! Gue bodoh banget!! Gue gak bisa ngontrol diri sendiri, tega banget nyakitin Kanaya! Gue pantas mati!! Aaarghh!! Aargh! Gue pengen mati aja!!"
Devandra memukuli dadanya sendiri. Air mata meleleh dari mata abu - abu beningnya.
"Aaaargh!! Aaargh!!" Raungan kekesalan itu, tangisan putus asa itu, membahana memenuhi seluruh ruangan apartemen.
“Kamu...,"
Devandra mendelik.
"Kamu memang harus mati, karena kamu tidak boleh ada,” sebuah suara serak tiba-tiba mengejutkan Devandra. Sesosok renta berambut panjang penuh uban melayang turun dari plafon. Entah sejak kapan sosok itu berada di sana.
Devandra yang sedang berbaring terlentang, terjengit melihat seraut wajah putih keriput tiba - tiba berada dekat sekali dengan wajahnya, seraut wajah mengerikan yang tempo hari tergolek menakutinya di bawah meja perpustakaan, seraut wajah sosok renta yang sudah mengejar - ngejarnya belakangan ini, dan membuatnya sangat depresi. Mata abu-abu sosok itu terbelalak senang mendengar Devandra berkata ingin mati.
“Aku akan membantumu supaya mati lebih cepat,” sosok itu terlihat sangat renta tapi gerakannya masih gesit. Tanpa memberi jeda sedikitpun, dia segera menyambar tubuh Devandra dan menyeretnya ke jendela kamar apartemen Devandra yang tiba-tiba saja sudah terbuka lebar. Angin dini hari yang dingin, segera menerpa masuk ke dalam kamar apartemen.
Mata abu-abu Devandra mendelik kaget mendapatkan separuh dirinya sudah tergantung di luar jendela apartemen.
"Oh sshhiitt!" Walau Devandra ingin mati tapi mau tak mau pemuda itu spontan terjengit ngeri juga dibuatnya. Seluruh darah Devandra seolah mendesir ke kepala. Tergantung terbalik, dengan kaki masih tersangkut di jendela kamar apartemen yang berada di lantai teratas dari gedung yang menjulang tinggi itu, seorang pemberani pun akan bergidik ketakutan dibuatnya.
Mata abu - abu Devandra nyalang terpandang ke bawah. Kerasnya paving block pelataran parkir gedung apartemen di bawah sana, seperti sedang menunggu tubuh Devandra menghujam di atasnya.
Sementara mahluk renta itu bagaikan merayap di kaki Devandra yang masih tersangkut di jendela, terkekeh-kekeh mengerikan, senang melihat Devandra ketakutan.
“Tugas kami akan selesai kalau kamu mati. Dan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan Omar Mahmoud Ali pasti akan senang,” desis mahluk itu menyeringai.Devandra mengerang mendengarnya.
“Persetan!”
Mahluk itu kembali terkekeh, tangannya yang berkuku-kuku panjang mengendurkan pegangannya pada kaki Devandra, membuat tubuh Devandra merosot beberapa senti lagi dari jendela.
"Aaarrghh!" Sembur Devandra spontan, tak dapat menahan teriakan ngerinya.
“Selamat tinggal, anak terkutuk!” seringai mahluk itu dengan nada puas.
Mata abu - abu Devandra terbelalak lebar seolah tak rela ketika mahluk renta mengerikan itu akhirnya melepaskan tubuh Devandra. Tangan pemuda bermata abu - abu itu sia - sia menggapai - gapai hendak meraih apapun yang dianggap bisa menyelamatkan diri. Devandra meluncur jatuh dari tingkat tertinggi gedung apartemen, melayang bagai patung mannequin tak berdaya, melewati lantai demi lantai...
KAMU SEDANG MEMBACA
02.00 ( Tamat )
HorrorKanaya yang sedang berduka, menghadiri pemakaman orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan, tak sengaja bertemu dengan Devandra Sosok Devandra yang begitu memukau bagai dewa - dewa legenda Yunani yang tampan, seorang pemuda yang bercita cita me...