Sore itu, saat Kanaya baru saja selesai berziarah di makam orang tuanya, tak mengira bertemu Devandra di kompleks pemakaman.
Pemuda bermata abu - abu itu sepertinya sedang berziarah juga di makam seseorang, Kanaya tidak tau makam siapa, tapi yang membuat darahnya mendesir, karena Devandra terlihat menangis.
Ya pemuda yang berwajah menawan bagai jelmaan Dewa - dewa Yunani itu berdiri di depan makam sambil menangis. Tangannya tampak berkali - kali mengusap mata. Dan sepertinya sedang berusaha keras menahan suara isakan tangisnya, tapi suara itu tetap saja terdengar.
Kenapa Devandra? Kanaya mendekap mulutnya. Siapa yang terkubur di makam itu, hingga Devandra tak dapat menahan tangisnya? Cowok jarang menangis, tapi jika akhirnya dia menangis berarti rasa sedih atau sakitnya sudah begitu berat hingga dia tak kuat untuk menanggungnya lagi. Kanaya sangat iba melihatnya. Duh gak apa kali ya kalo gue sapa dia?
"De - Devandra?" Kanaya dengan hati - hati mendekati pemuda bermata abu - abu itu. Sapaan Kanaya membuat Devandra tersentak, dan buru - buru berusaha menghapus air matanya.
"Siapa yang meninggal, Dev?" Tanya Kanaya lagi karena makam di depan Devandra terlihat masih baru.
"Ibu angkat gue," sahut Devandra tanpa menoleh pada Kanaya, seperti tak ingin sembab matanya terlihat oleh gadis itu.
"Owh, gue turut berduka cita, Dev,"
"Ya, thanks,"
Sesaat sunyi. Kanaya tak tau harus berkomentar apa, bukankah awal bertemu kemarin, Devandra bilang dia sudah kehilangan semuanya, dan sekarang ibu angkatnya juga? Tragis sekali, seolah kematian selalu mengiringi hidup Devandra.
Devandra juga hanya membisu saat mereka akhirnya keluar dari kompleks pemakaman.
"Lo pasti sayang banget ya ama beliau?" Kanaya mencoba mencairkan raut wajah muram Devandra saat mereka berdua duduk pada tembok rendah pembatas kompleks pemakaman. Devandra tak menjawab.
Kanaya menghela napas. Gadis itu melihat gerobak penjual es krim yang berhenti tak jauh dari mereka. Hatinya tergerak untuk membeli jajanan manis itu.
"Ini untuk lo," Kanaya menyodorkan satu dari dua cone es krim coklat yang dibelinya, pada Devandra. "Gue suka makan es krim kalo lagi sedih,"
Pemuda bermata abu - abu itu tampak terjengah memandangi es krim yang disodorkan Kanaya.
"Coba deh. Es krim adalah obat terbaik untuk ngilangin sedih," kata gadis itu sambil tersenyum, mencoba menghibur.
Devandra terlihat berusaha membalas senyuman Kanaya, membuat gadis itu tak enak hati melihatnya, karena dia tau betapa sulitnya memaksakan diri untuk tersenyum saat kita sedang bersedih.
"Gue juga tadinya sulit nerima kepergian orang tua gue," kata Kanaya. "Rasanya bingung banget tau - tau harus sendirian. Gue anak tunggal, jadi gak punya siapa - siapa lagi selain orang tua. Ada sih Om ama Tante gue, tapi tetap aja rasanya beda,"
Devandra menatap Kanaya dengan mata abu - abu beningnya.
"Tapi lo lebih beruntung dari gue," akhirnya pemuda itu bersuara.
"Beruntung?"
"Bukan lo yang menyebabkan orang tua lo meninggal," lanjut Devandra dengan nada datar.
"Maksudnya?"
"Gue cuma anak durhaka, gak tau diri,"
Kanaya terbelalak mendengar itu, kenapa Devandra ngomong seperti itu? Dia seperti menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab ibu angkatnya meninggal. Duh apa yang terjadi sebenarnya dengan Devandra ya? Itukah yang menyebabkan dia sangat sedih? Rasa kepo Kanaya langsung mengusik, tapi dilihatnya Devandra sudah tak ingin mengobrol lagi, pemuda itu menyibukkan diri dengan es krim yang diberikan Kanaya, tak menggubris walau Kanaya sedang memandangnya begitu lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
02.00 ( Tamat )
HorrorKanaya yang sedang berduka, menghadiri pemakaman orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan, tak sengaja bertemu dengan Devandra Sosok Devandra yang begitu memukau bagai dewa - dewa legenda Yunani yang tampan, seorang pemuda yang bercita cita me...