Dia yang Pergi

62 20 5
                                    


🍃🍃

"Fix! ini mah orang deket kalo kata gue," Caca meletakkan kembali ponsel Kara keatas meja. Setelah meneliti tiap baris pesan dari pengirim tak bernama yang Kara ceritakan serta tanpa foto profil, gadis itu mengambil kesimpulannya sendiri.

"Kenapa lo bisa yakin gitu?"  Tanya Kara. Dia saja masih takut menyimpulkan. Bahkan, jika tak punya dorongan kuat untuk bercerita, ketiga sahabatnya ini tak akan pernah tau.

"Lo baca lagi deh. Udah jelas-jelas dia bilang dari lo SMP, dari kita SMP. Dia banyak tau tentang lo, Ra."

"Ngaco lo! Dia ngarang disitu. Gue punya tameng lah, banyak yang suka sama gue lah, apalah, jelas-jelas dia ngarang."

"Lo masih bego ternyata, Ra." Celetuk Rindu gemas sendiri. Cewek itu memutar tubuh membelakangi Kara karena malas ikut campur lagi.

"He'eh, padahal guru-guru smp kita dulu juga tau nama lo banyak ditemuin dimeja cowok-cowok. Rumor Inner beauty aja masih jadi sejarah disana, masih bilang itu orang ngarang?" Tegas Caca. Kara jadi mati kutu.

Mana dia tau kalo ternyata yang mengaku menyukainya sedang tidak bercanda. Meskipun memang benar waktu smp dulu Kara lumayan idaman seperti yang pernah Kara katakan, tapi Kara fikir itu sekedar bualan saja.

Kecuali si dia yang sudah berpulang, Kara hanya percaya beberapa orang yang benar-benar punya perasaan padanya.

"Gue kalo ngomongin masa smp, suka keinget Aldi. Andai, takdir lo berdua gak se 'sad' itu, gue berani taruhan nyawa, Aldi gak bakalan pernah berpaling dari elo."

Tuhkan, Kara baru saja ingin bilang dia tak mau nama itu disebut lagi. Sekarang, ntah kenapa jantungnya berdenyut nyeri.

Melihat Kara meringis kecil, Caca buru-buru meminta maaf. Gadis itu lupa bahwa Aldi Rageswara menjadi topik sensitif bagi Kara.

"Its oke Ca, gue udah belajar buat nerima kenyataan kalo dia udah bener-bener pergi. Percuma gue menghindar kalo nyatanya, setiap nama dia disebut gak pernah gagal bikin jantung gue nyeri. Sampe kapan gue mau kaya gini?" Dulu, saat Aldi meninggal dunia, Kara memilih berdiam diri dikamar dan tidak menghadiri pemakaman cowok itu. setelah sebulan kepergian Aldi, Kara masih berkubang dalam mendung. Bahkan, hingga mencecah bulan ketiga, Kara masih sulit menerima kenyataan bahwa Aldi benar-benar meninggalkannya.

Hampir setengah tahun jasad pemuda itu bersatu dengan tanah, barulah Kara bernyali menziarahi makamnya. Dengan sekujur tubuh yang mendadak bergetar hebat, Kara ingat dia bahkan tak sanggup berdiri ketika membaca batu nisan dengan nama Aldi tercetak disana.

Kara tak menangis. Menjerit, apalagi meraung meratapi nasib. Dia hanya diam, membangun dinding kokoh pada pertahanan dirinya agar tak berantakan. Walau pada Kenyataannya, dibalik dinding kokoh itu ada kekacauan yang tak bisa lagi digambarkan. Ketika akhirnya, bahu rapuh itu disentuh ringan, Kara tak bisa menahan perasaannya lagi. Ibarat bendungan yang tak mampu lagi menahan derasnya terjangan air, dinding pertahanan dirinya roboh. Gadis itu menangis sejadi-jadinya sehingga harus dibopong untuk ditenangkan dan dibawa pulang.

Esoknya, Kara dirawat inap karena demam tinggi.

Lalu, hari-hari berganti dengan cepat. Mengajarkan Kara bahwa kepergian Aldi hanyalah sebagian kecil dari perjalanan hidup yang harus ia lalui. Kara akui dia pernah jatuh pada sosok itu. Kara akui, Aldi pernah menempati tempat istimewa dihidupnya atau bahkan hatinya. Bukan sebagai kekasih memang, karena hubungan mereka lebih dalam dari itu.

Sampai akhirnya, atlit karate IPA 2 itu menciptakan ruang sendiri yang jauh lebih istimewa.

"Lo tau kan, Ra, gak ada kejadian yang gak punya alasan kenapa bisa terjadi. Terutama takdir. Beberapa orang disekitar kita memang harus pergi, memang harus kita lepas. Bukan untuk dilupa, tapi untuk dikenang bahwa mereka pernah ada. Mereka pernah mengukir kisah mereka sendiri dalam hidup kita. Gak tau kapan, tapi yang pasti, gue, Caca, Rindu, dan mungkin juga elo tinggal nunggu giliran buat pamit."

Remaja Kita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang