Warung Kita

57 15 16
                                        

🍃🍃

Selalu ada hal istimewa yang kita punya dalam setiap fase hidup.

Saat kecil, belajar berjalan adalah fase paling menyenangkan. Beranjak remaja tanggung, pembuktian diri menjadi hal penting yang tak bisa dilewatkan. Lalu, masa remaja sebenarnya tiba. Perasaan asing mulai menelusup mencari pemilik tahta hati sementara.

Sebutlah itu cinta. Katanya, remaja adalah masa paling indah. Masa paling sempurna untuk mengukir sejuta kisah bersama orang-orang terpilih yang diharapkan bisa selamanya. Melalui hari-hari hebat dengan sederhana.

Tak rumit.

Tak sulit.

Kara pikir sesederhana itu masa remajanya. Tapi...

Dua pemuda jangkung ditengah lapangan sana nampaknya berfikiran lain. Mulut Kara setengah terbuka sejak tadi. Melihat Adan dan Kafa babak belur, dia sempat mengira keduanya jadi korban penculikan. Karena Adan tak masuk jam pelajaran pertama. Tapi wajah datar dan tanpa dosa itu... mustahil rasanya jika ada yang berminat ingin menculik.

Kafa dan Adan tak berjalan bersisian. Adan berjalan didepan, sedangkan Kafa berjalan sekitar lima meter dibelakangnya. Kasak kusuk koridor membuat Kara akhirnya mengerti.

Bukan penculikan, Kedua pemuda itu, baru saja adu kekuatan. Dan mereka baru saja keluar dari ruang BK.

Kara sudah bisa menebak siapa pemenangnya. Dilihat dari bibir robek serta tulang pipi Adan yang membiru ditambah cetakan sepatu didada kanan, sudah pasti cowok itu dihajar habis-habisan.

Kara tak tau saja jika habis-habisan versinya berbeda dengan versi Kafa.

"Latihan soal tadi udah lo bagiin, Ra?" Ntah datang dari arah mana. Zafran tiba-tiba menutupi pandangan mata Kara pada dua sosok didepan sana.

Menghembus napas kesal, Kara mengangguk. "Udah. Itu aja, kan?"

Zafran menggaruk tengkuk kebingungan. Perasaan dia baru saja tiba, tapi mendengar dengusan kecil Kara, sepertinya ia salah waktu. "I-iya sih. Tapi, lo gak papa?"

"Kenapa?" Kara menaut alis. Memang, wajahnya kentara sekali ya sedang tidak baik-baik saja?

Zafran menggeleng. Menoleh kebelakang, dia baru menyadari satu hal.

Mereka sedang diperhatikan.

Kara ikut memiringkan kepala. Sedikit tercekat melihat kedua pemuda yang tadi ia perhatikan justru sama-sama menghentikan langkah ditengah lapangan. Memperhatikan interaksinya dengan Zafran. Selang beberapa detik, ntah memang dikomando atau apa, keduanya serentak bergerak lagi.

Seharusnya, gedung kelas Kafa berada dikiri. Tapi cowok itu justru mengikuti Adan berjalan lurus kearah Kara yang memang menuju kelas mereka.

"Minggir, Ra." Zafran sedikit menarik lengan Kara kedepan. "Lo ngehalang pintu."

Baiklah, Kara memang sedari tadi berdiri ditengah pintu.

Adan masuk tanpa melirik Kara sedikitpun. Oke, Kara memang sama sekali tak berharap dilirik. Intinya, cowok itu sama sekali tak melirik kiri kanan. Kepala Kara mengikuti langkah Adan kedalam kelas. Cewek itu sampai harus memutar leher sembilan puluh derajat.

Lalu tiba-tiba, punggungnya meremang. Kara baru tau dia begitu sensitif pada keadaan sekitar. Spontan menoleh, Kara tak mendapati Zafran lagi. Rakafa Ditya justru disana. Menatapnya dengan sorot yang ... ntahlah.

"Maaf,"

"Ha?" Kara melongo. Kata maaf tiba-tiba yang Kafa lontarkan membuat otaknya blank. Seingat Kara, dia dan Kafa baik-baik saja. Lalu, maaf untuk apa?

Remaja Kita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang