🍃🍃
Kafa tak pernah tau melupakan seseorang akan sesulit ini. Saat hari perpisahan itu, menghampiri Kara adalah satu-satunya hal yang ingin ia lakukan. Mengucapkan selamat tinggal, atau paling tidak rasa terima kasih meski gadis itu tak mau mendengarkan.
Kafa mengerti kekecewaannya. Mengerti jika diposisi Kara pun dia akan berpikiran serupa. Tapi, apa mendengarkan penjelasan seseorang sesulit itu?
"Kamu mau kemana?"
Kafa refleks menginjak rem mendengar suara itu. Memijat matanya guna menyadarkan diri agar tak lagi terjebak masa lalu. Meski tetap saja, masa itu ada.
"Kamu kenapa?" Renata, gadis yang merupakan rekan satu angkatannya difakultas yang sama sudah dua bulan ini naik status sebagai pacarnya. "Cerita, Fa. Dulu, sebelum jadi pacar kamu, aku juga sering liat kamu gak fokus gini. Aku mau nanya, tapi takut kamu keganggu karna aku bukan siapa-siapa. Sekarang, aku pacar kamu, kan? You can tell me everything, hm?" Usapan pelan dibahu Renata berikan pada sang kekasih. Berharap Kafa percaya jika dia benar-benar ingin cowok itu terbuka.
Kafa menggeleng, "i'm oke."
Dan Renata cukup tau posisinya masih tak berubah.
Dia ada diurutan kesekian dalam hidup cowok itu. Yang artinya, jika ingin menjadi yang pertama, langkahnya masih ketinggalan jauh. Ada orang lain yang bertahta dihati Kafa. Luas dan tak terjangkau, sedalam itu perasaan yang Kafa punya untuk seseorang itu.
Tapi, siapa?
"Gak mau turun?" Kafa bertanya setelah berhasil mengendalikan diri. "Katanya lo mau-"
"Fa,"
"-Makan disini, ya ayo?"
"Fa ..." Renata menggigit bibir. Menahan airmatanya yang hampir tumpah. "Gue siapa untuk lo, Fa?"
"Nat ..." Kafa memanggil rendah, "gue udah bilang gak usah bahas masalah ini. Lo yang minta kita buat deket, gue udah lakuin. Bahkan Lebih dari itu. Sekarang apa?"
"Tapi gue gak mau gini terus, Fa. Lo disamping gue, tapi rasanya kayak jauh banget. Lo ada, tapi gue bahkan gak ngerasain keberadaan lo. Jadi, kita apa sebenernya?"
"Kita sampai sini aja, Nat." Putus Kafa akhirnya.
Renata terperangah, menatap tak percaya pada cowok yang setiap hari ia kagumi dengan mata berair. "Gue gak minta itu ..." suaranya bergetar hebat.
"Tapi gue yang minta, Nat." Kafa lelah. Lelah membohongi hatinya sendiri. Lelah membohongi keadaan bahwa perasaanya tak berkurang sedikitpun pada Kara meski sudah berlalu sekian tahun. "Gue gak mau makin nyakitin lo, Nat. Gue gak mau lo jadi banyak berharap dari gue. Dan gue ..." Kafa tertunduk penuh rasa bersalah. Menggenggam stir mobil sekuat tenaga hingga kuku-kukunya memutih. "Gue minta maaf karna selama ini gue gak pernah nganggep lo Renata."
"Ap-apa?" Renata kebingungan. Apa yang Kafa maksud dengan tidak pernah menganggapnya sebagai Renata? Jadi siapa?
Kafa menarik napas dalam sebelum memberi jawaban panjang, "Kara." Ucapnya lugas. "Namanya Kara. Teman SMA gue, at least sampe gue sama dia hampir jadi lebih dari teman. Gue gak punya banyak kenangan tentang dia. Waktu yang kami punya emang sesingkat itu. Tapi cinta bukan soal waktu, kan? Itu kenapa gue selalu percaya sama cinta pandangan pertama." Cowok itu berhenti sejenak. Melempar pandang keluar jendela dan menerawang jauh kemasa remajanya dulu.
"Perasaan gue tumbuh gitu aja. Gak perlu banyak tindakan, gak perlu kata-kata. Dan yang bikin perasaan itu makin kuat adalah dia juga punya rasa yang sama. Gue lebih dulu tau soal perasaan dia walaupun awalnya sempet gak bisa percaya karna satu dan lain hal. Tapi cara dia natap gue udah jadi jawaban tanpa perlu gue tanya. Dan lo tau apa yang bikin dia segitu istimewanya buat gue?" Hening. Dan Kafa memang tak memerlukan jawaban. "Matanya. Gue selalu suka mata itu dalam keadaan apapun. Gue suka mata itu waktu dia senyum, gue suka mata itu walaupun dia cuma diam. Bahkan gilanya, gue suka mata itu disetiap dia ngedip." Kafa terkekeh sendiri mengingat betapa dia mendambakan mata hitam jernih milik Kara Aurelie. "Gue hapal hal yang dia suka even gak semua karna kita emang belum lama kenal. Gue punya banyak impian yang ntah kapan muncul sejak kenal sama dia."
"Sampai akhirnya ... masalah sialan itu datang. Gue gak tau gimana caranya ngasi dia penjelasan buat tetep percaya sama gue walaupun gue juga ngaku gue salah karna sempet mikir yang nggak-nggak tentang dia. Tapi satu-satunya hal yang gue pengen dia tau adalah gue selalu ngelindungin dia. Setiap hari, setiap detik. Walaupun sampai sekarang ... dia gak pernah tau. Mungkin gak akan pernah tau." Kafa memijat matanya yang basah. Bicara tentang Kara memang selalu mengusik perasaanya yang terdalam. Bukti nyata kalau cewek itu masih menjadi pemegang tahta tertinggi dihatinya.
Tak berubah.
Tak akan pernah.
Renata tertawa pahit. Menyedihkan sekali nasibnya kali ini. Pantas saja Kafa tak pernah sekalipun menatap matanya. Pantas saja Kafa selalu memberinya mie instan meski berulang kali di tegaskan bahwa dia tidak menyukai makanan cepat saji. Pantas saja ... agh! Terlalu banyak hal yang baru ia mengerti hari ini. Kafa mengharapkan dia adalah Kara.
Sekarang Renata sudah bisa menyimpulkan satu hal. Dia bukan ketinggalan jauh, tapi tempatnya bahkan tak pernah ada.
Miris sekali, bukan?
"Lo bisa pulang dulu." Renata memilih turun dari mobil. Sedikit berlari berharap semua tentang perasaanya pada Kafa bisa tertinggal jauh bersamaan dengan mobil cowok itu bergerak berlawanan. Tapi sakit itu masih terlalu nyata. Terlalu jelas sampai Renata berjongkok sembari menepuk dadanya sendiri mengusir rasa itu pergi.
Tidak. Ini bukan salah Kafa. Cowok itu sejak awal sudah memberi jarak. Sudah memberi batasan dan ultimatum yang rasanya cukup untuk membuat dia sadar. Namun egonya mencoba memenangkan keadaan. Yakin bahwa batu perlahan bisa terkikis oleh air jika disiram terus menerus.
Masalahnya, batu yang ini jelas-jelas tak mau disiram.
Jadi, salah siapa?
Kara?
🍃🍃
Maaf telat😢
Boss
Fika
KAMU SEDANG MEMBACA
Remaja Kita (End)
DiversosFollow boss yak..😁 cover by:Lailatulwahida07 Masa remaja Kara terlalu biasa. flat, hambar dan hampir bisa dibilang nggak ada rasanya. well, selain menjadi secret admirer Kafa, cowok ganteng plus kalem jagoan Karate dari IPA, dan jangan lupakan kesi...