Pelik

70 22 9
                                    

🍃🍃

"IPS! IPS! IPS!"

"IPA! IPA! IPA!"

Sorak sorai memenuhi lapangan futsal Jati Dharma siang hari ini. Pertandingan dadakan mengisi jamkos antara All XII IPS vs All XII IPA, menjadi hiburan meski matahari sedang terik-teriknya.

Cewek-cewek sudah tak peduli lagi pada skincare mahal mereka. Bermodal payung atau yang paling banyak dipakai adalah jaket, mereka rela berpanas-panasan menonton pertandingan yang juga panas.

Lagu lamanya, sejak kapan IPS dan IPA bisa akur?

" Adaannn!! Oper woi oper! Bukan maen sendiri!"

"Berisik lo ah! Udah mau gol ini!"

"Gol pala lo! Gawang kita ituuu!"

Kara memutar mata malas. Jika begini pemainnya, bagaimana tim mereka bisa menang?

"Kak Kafa ganteng, ya?" Kara melirik kearah kanan melalui ekor matanya. gadis mungil yang menurut Kara junior kelas satu disampingnya itu, sedang menatap Kafa dengan tatapan memuja. Lantas tersenyum malu-malu tatkala Kafa mendapat giliran mengolah bola.

"Ganteng sih! Tapi gue lebih suka karisma nya kak Adan, badboy misterius gituuu." Gadis bertubuh sedikit berisi disebelah gadis tadi bicara.

Kalau saja Kara sedang minum, dia sudah pasti tersedak hebat. "Adan?  Misterius?" Kara bergumam tak percaya. Ntah sumber sesat dari mana yang junior-juniornya ini dengarkan.

"Denger-denger, kak Kafa belum punya pacar. Kira-kira, gue masuk kriteria gak ya?"

Kara kini menoleh. Ikut menilai atas bawah meski gadis tadi tak meminta pendapatnya. Gadis bertubuh mungil ini, lumayan cantik. Ralat, cantik sekali. Wajahnya kecil dan imut. Kulit kuning langsat dengan dua lesung pipi, menambah kesan manis saat ia bicara.

"Nggak kayanya." Komentar teman disebelahnya. "Kak Kafa gak main sama adek kelas,"

Dalam diam Kara membenarkan. Tiga tahun satu sekolah dengan pemuda itu, Kara tak pernah melihat Kafa dekat dengan adek kelas.

Bahkan, dengan cewek kelas Kafa sendiri.

"Tapi kalo lo mau nyoba daftar, gue rasa kesempatan lolos gede juga. Kak Kafa ngelirik elo terus dari tadi,"

"Eh, beneran?!!" Gadis mungil itu berteriak antusias.

Refleks, kepala Kara berputar kearah lapangan.

Biasa saja. Kara tak melihat ada keanehan apalagi Kafa yang lirik sana sini. Cowok yang gantengnya makin keluar karena sudah basah keringat itu, fokus mengolah bola dengan lincah.

Melirik lagi pada gadis mungil disebelahnya yang masih memasang tatapan teruja, Kara sedikit bergeser kekiri. Menjaga jarak dengan gadis mungil yang ntah kenapa jadi tampak berbahaya ini.

"Sempit, Ra! Haelah lo," mau tak mau Caca ikut bergeser. Gadis itu makin terhimpit karena Rindu tidak bisa ikut bergeser. Disebelah Rindu, ada Deswita yang punya berat badan duakali lipat mereka sehingga susah bergerak.

"Gue gak kena payung." Kara menjawab sekenanya. "Panas,"

"Perasaan, gue yang nggak kena," Lani yang bertugas memegang payung dibelakang bergumam. Nasib orang tinggi ya begitu. Kalau dia berdiri didepan, bisa-bisa orang belakang ketutupan.

Pertandingan sudah memasuki babak kedua. Kedua tim bermain dengan apik. Sudah mirip pertandingan sungguhan Kara rasa.

Sekali lagi melihat Kafa yang kini sedang istirahat minum, Kara mendadak teringat peristiwa dikafe MARI. Ntah bagaimana cowok itu bisa kebetulan memakai hoodie putih.

Remaja Kita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang