38

583 105 313
                                    

╔══ ✰ ══ ✮⭐✮ ══ ✰ ══╗

A L P H A – 38

╚══ ✰ ══ ✮⭐✮ ══ ✰ ══╝

Dua minggu berlalu, aktivitas Taraka kembali seperti biasanya. Bahkan, Raya sudah kembali dari rumah sakit lima hari yang lalu. Semua terasa biasa-biasa saja, mereka menjalankan apa yang Restu perintahkan dengan baik.

Mengenai Taraka yang secara tidak langsung berkhianat kepada Restu, sudah selesai dibereskan. Restu memaafkan, karena tak sepenuhnya kesalahan Taraka. Lagipula, Restu terlampau nyaman memiliki Taraka. Segalanya jadi lebih mudah dan tersusun rapi. Bagi Restu, Taraka adalah Alpha yang benar-benar ia cari.

Raya mematut dirinya di pantulan cermin. Wajahnya sudah tak sepucat biasanya. Kata sang dokter, jika Raya rutin meminum obat dan tak terlalu kelelahan, ia akan segera sembuh sebentar lagi.

Ia menyentuh dadanya, tepat di mana jantungnya berdetak dengan normal. “Jihan, terima kasih dan ... maaf.”

“Raya?”

Menoleh ke arah pintu yang sedikit terbuka, di sela-selanya menyembul kepala Sano. “Mau ke sekolah nggak?”

Raya mengangguk, menyambar tas ranselnya dan menghampiri Sano. “Yuk.”

“Sarapan dulu.”

Mengangguk lagi. Sano tersenyum kecil, ia menepuk pelan pucuk kepala Raya, lalu menggiring sang gadis untuk menuju ke meja makan. Teman-temannya sudah sarapan dengan sendiri-sendiri, rapi dengan pakaian mereka. Tristan dan Aldo yang memakai kemeja karena harus bekerja di kantor. Dewa, Devan, dan Nathan pula sudah rapi dengan seragam. Perihal Devan, pria itu masih menjadi siswa pertukaran pelajar di sekolah Ganesha.

Ah, bicara soal pertukaran pelajar, tentu berhubungan dengan Jihan. Berita kematiannya tak tersebar, hanya saja Restu meminta pihak Ganesha untuk mengatakan bahwa Jihan akan dipindah ke sekolah lain, tidak lagi di sekolah Bhineka. Karena kekuasaan Restu, mudah-mudah saja hal ini dilakukan. Terlebih, pihak SMA Bhineka juga berpikir bahwa Jihan trauma karena pernah berurusan dengan Taraka beberapa waktu yang lalu.

“Raya jangan kecapekan, ya,” pesan Aldo pada adik satu-satunya.

“Ada gue, Bang,” kata Sano sembari menarik kursi untuk Raya. Padahal, Raya bisa melakukannya sendiri. Tapi tidak tahu, hal itu reflek Sano lakukan.

Nathan tersedak nasinya sendiri, buru-buru ia mengambil air minum dan menegaknya setengah gelas, kemudian menatap tak percaya ke arah Sano. “Ini Sano?”

“Ya iyalah, anjing. Yang mata lo lihat siapa emang?” tanya Aby nyolot.

“PMS, ya, lo?” tanya Nathan balik. “Nyolot bener, gue nanya santai loh.”

“Iya!” jawab Aby dengan nada suara yang sedikit meninggi.

“Dih, pantes,” cibir Nathan.

“Ini berdua berantem mulu. Gue sumpahin jadian kalian,” celetuk Tristan yang mulai tak tahan dengan keributan kecil ini.

“Gue udah ada cewek, ya!” sulut Nathan tak terima.

“Oooh, jadi nembak anak tari itu?” tanya Raya menebak-nebak, sembari menyuapkan sesendok nasi di mulutnya. “Kapan lo nembak?”

“Empat hari yang lalu, besoknya setelah gue curhat sama lo,” jawab Nathan sembari memakan makanannya. Tak mendongak ke depan, ia yakin saat ini menjadi pusat perhatian.

Dewa yang semula tak berminat untuk ikut campur, mendadak jiwa kepo menguasai dirinya. “Anak tari yang mana, sih?”

“Yang itu loh ... siapa namanya, gue lupa. Yang waktu itu nyalon ketos tapi nggak jadi, sekarang jadi sekretaris kalau nggak salah,” kata Raya mencoba mengingat-ingat. Sedangkan Nathan sudah menunduk malu, mencoba menahan senyum tapi tidak bisa.

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang