04

1K 157 201
                                    

Menghela napas cukup panjang dan lelah, ketika menangkap dirinya di pantulan cermin dengan luka memar di wajah. Badannya benar-benar terasa remuk. Kejadian kemarin dan malam tadi membuat sekujur tubuhnya menanggung sakit luar biasa. Apalagi di bagian perutnya yang sedikit terluka karena terkena ujung meja yang menimpanya kemarin. Terlebih, Noni juga menimpa meja tersebut. Ya … begini hasilnya.

Bangkit dengan perlahan dan meraih ransel di atas ranjangnya, Raya berjalan menuju pintu dan berusaha membukanya. Namun nihil, pintu itu terkunci dari luar. Ia mendecak, menggedor-gedor pintunya dengan harapan segera dibukakan, serta tangan kanannya yang terus menekan-nekan kenop pintu.

“Hei, buka!” teriaknya.

Bunyi kunci pertanda pintu dibuka membuat Raya memundurkan tubuhnya, memunculkan Sano yang baru saja masuk dengan seragam putih abu-abu sudah melekat membalut tubuhnya. Rambutnya terlihat basah, bulir-bulir air pun masih menetes santai di ujung pelipisnya. Wangi tubuh Sano menyeruak masuk ke rongga hidung Raya membuat gadis itu menghirup udara sebanyak mungkin. Harum sabun mandi Sano, benar-benar membuat Raya hampir saja mabuk.

“Mau ke mana?” tanya Sano santai. Raya memutar bola matanya jengah, tidak lihatkah penampilan Raya? Dengan punggung merangkul ransel, juga seragam putih abu-abu yang sama dengannya, masih juga bertanya Raya ingin ke mana? Astaga ….

“Sekolah.”

Sano masuk lebih dalam, membuat Raya mundur beberapa langkah lagi. Pria itu menutup pintu, mendekat ke arah Raya dan menggiring sang gadis untuk duduk di atas ranjang. Yang mampu dilakukan Raya hanya menurut dengan tatapan bingungnya.

“Kenapa?”

“Nggak usah sekolah,” jawab Sano datar.

“Kenapa?”

“Kris yang suruh.”

Raya mendecak, “Di mana Kris?”

“Nggak tahu.” Sano mengedikkan bahunya sebelum melanjutkan ucapannya, “Pergi dari tadi malam. Nggak tahu ke mana.”

“Gue mau sekolah.”

“Di rumah aja. Nanti Kris bisa marah.”

“Pokoknya gue mau sekolah, Sano!”

Sano menatap tajam ke arah Raya, membuat sang empu menciut seketika. Sano terkekeh kecil melihat Raya yang menunduk karena takut, ia ulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala Raya. “Lo lagi nggak baik-baik aja, mendingan di rumah dan istirahat. Jangan sekolah dulu.”

“T-tapi ….”

“Nggak ada tapi-tapian. Duduk di sini, gue ambilkan sarapan sebentar.” Sano bangkit dari duduknya, kaki jenjangnya melangkah keluar dari ruangan berukuran 4×5 meter persegi ini. Baru saja Sano menutup pintu, sudah berdiri Jihan dengan satu nampan bubur ayam beserta air minum dan obat-obatan Raya.

“Ngapain di kamar Raya?”

“Tadi dia gedor-gedor pintu minta dibukain, makanya gue masuk buat kasih tahu dia kalau nggak usah sekolah dulu.”

“Segitunya lo peduli sama Raya.” Sano yang hendak berjalan langsung mengurungkan niatnya, memperhatikan raut wajah Jihan yang tengah menahan kesal. Tatapan mata Jihan begitu menyelidik, membuat Sano mendecak pelan.

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang