12

655 121 485
                                    

Menghela napas lelah ketika kedua kakinya sudah berdiri di ambang pintu. Ada rasa rindu yang menggebu-gebu, ingin rasa hati memeluk seseorang yang tengah ia rindukan. Namun sayang, itu tidak akan pernah terjadi lagi.

Hidupnya sepi tanpa seseorang yang ia sayang, hari-hari yang biasa ia lalui bersama Kris kini hanya tinggal memori kecil yang akan Raya simpan dalam-dalam. Berusaha mengikhlaskan dan merelakan, namun semuanya jelas membutuhkan proses.

Lagi. Raya menghela napasnya panjang sebelum akhirnya berjalan masuk ke dalam kamar. Langkahnya begitu lambat, matanya menelisik ruangan yang sudah lama ia tempati. Kedua netranya cukup lama memandang bingkai foto yang terdapat di atas nakas. Ia meraihnya dengan senyuman kecil.

"Kris, aku kangen."

Raya mengusap bingkai itu dengan pelan, memeluknya erat seolah-olah meraskan bahwa ia tengah memeluk sosok yang berada dalam bingkai tersebut. Tidak tahan, ia menangis. Lagi dan lagi, air matanya tumpah begitu saja. Sungguh ... demi apa pun, Raya merindukan Kris.
Tepukan pada bahu Raya membuat sang gadis terlonjak kaget, ia berbalik dan mendapati Sano tengah menatapnya datar.

"Kangen Kris?" tanya Sano yang diangguki Raya.
Sano menarik Raya ke dalam pelukannya, membenamkan kepala Raya pada dada bidangnya, dan membiarkan gadis itu menangis di sana. Entahlah ... Sano hanya ingin melakukannya. Bukannya Sano ingin mencari kesempatan dalam kesempitan. Tidak. Menurut artikel yang ia baca, jika seseorang tengah menangis maka peluklah. Setidaknya, pelukan itu dapat meredakan tangisnya.

"Gue kangen Kris, San. Kangen banget," racau Raya dengan suara yang tidak begitu jelas.

"Gue ngerti. Berat memang, tapi lo harus bisa."

Raya mendongak, melepaskan pelukannya pada Sano. Kedua matanya yang penuh dengan genangan air mata itu menatap lekat kedua manik milik Sano.

Raya berujar dengan suara paraunya, "Bunuh dia, San. Bunuh dia. Bunuh siapa pun yang udah bunuh Kris."

Sano mengernyit, tidak biasanya Raya seperti ini. Gadis itu tidak begitu menyukai adegan bunuh-membunuh dan balas dendam. Bagi Raya, jika seseorang telah melakukan kejahatan ya sudah, diamkan dan jangan dibalas dengan kejahatan yang sama. Tapi mengapa kali ini tidak?

"Janji sama gue, bunuh siapa pun dia." Raya berujar lagi, ia mengangkat tangannya dan mengacungkan jari kelingkinya sebagai bentuk perjanjian. Mau tak mau-karena memang Sano juga berniat membunuh sang pembunuh Kris-Sano mengangguk dan menautkan jari kelingkingnya pada kelingking Raya sebagai tanda menyetujui perjanjian itu.

Raya tersenyum lebar, sangat lebar. Tak sadar, Sano ikut tersenyum kecil dibuatnya.

Suara dehaman membuat Raya dan Sano menjauhkan tubuhnya masing-masing, sudah berdiri Jihan dengan bersedekap dada dan bersandar pada pintu. Tatapan mata Jihan begitu tajam, Sano bisa melihat raut emosi Jihan detik itu juga. Berdecak pelan, Sano memutar bola matanya jengah.

"Kalian ngapain?" tanya Jihan garang.

"Enggak ngapa-ngapain, Jihan. Gue cuma-"

"Diem lo." Jihan memotong ucapan Raya. Jelas, hal itu membuat Sano murka. Pria itu memelotot tajam membuat Jihan berdecak kesal. "Terus aja bela Raya, bela terus sampai mati."

"Mulut lo bisa dijaga nggak?" jawab Sano bertanya.

"Apa? Kenapa? Nggak suka? Faktanya begitu, kok."

"Jihan." Sano mulai geram, ia menggertakkan gigi-giginya. Seharusnya Jihan bisa membaca tatapan mata Sano yang tajam, pria itu tidak suka dengan perilaku Jihan yang seperti ini. Tapi tetap saja, Jihan masih mengabaikan dan melanjutkan kekesalannya.

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang