15

588 109 274
                                    

Raya menelan ludah kasar, jantungnya berdegub begitu kencang, namun masih terlampau aman—entahlah jika nanti. Matanya menatap nanar balkon di depannya, hanya ini satu-satunya cara agar dia bisa keluar dari markas Taraka, meskipun konsekuensinya adalah terjatuh ke bawah dan ketahuan.

Dia memberanikan diri untuk meraih pohon di dekat balkon dengan cara berpegangan pada tralis, tak henti-hentinya ia merapalkan doa, matanya pun mengintai was-was, takut jika ada Taranos yang melihat. Tapi Raya sudah memastikan aman karena Taranos tengah fokus berjaga di gerbang belakang dan depan. Artinya, karena tempat balkon ini dekat dengan pagar samping dan jalan raya, akan memudahkan akses Raya untuk keluar dari markas, terlebih adanya pohon mangga yang semakin mempermudahkannya.

Raya mengayunkan kakinya pada dahan besar pohon mangga, melepas tangan kirinya untuk beralih meraih dahan, dan melakukan hal yang sama untuk kaki dan tangan kanannya. Raya menghela napas ketika berhasil, kembali matanya melirik keadaan sekitar. Menghela napas lagi karena merasa aman. Ia kini hanya perlu meraih pagar putih di samping pohon mangga dan melompat turun ke jalanan.

Raya yakin, dia bisa.

***

Lain halnya dengan Raya yang tengah berusaha menggapai pagar agar bisa keluar dari markas, Taraka dan Taranos yang turun dalam misi malam ini tengah menarik napas dan mengembuskannya lelah. Informasi kecil yang mereka dapatkan mengenai Jeffry semakin mempersulit misinya.

“Ini gudang Jeffry, tempat di mana dia menyimpan semua barang ilegalnya yang mana nantinya akan diperjualbelikan demi kelancaran bisnis gelapnya,” ujar Devan datar, “hampir nggak ada yang tahu, karena tempat ini nggak layak disebut sebagai gudang.” Mengerling tajam matanya menatap gudang—yang sebenarnya tak pantas dikatakan gudang karena terlampau bagus—di depannya.

“Habisi dulu anak buahnya, tembak jarak jauh,” titah Sano pada dua Taranos yang ia utus ikut turun misi untuk menggantikan Nathan. Dua Taranos, Jonathan dan Liberto lantas mengangguk dan hendak membuka pintu mobil jikalau saja suara Sano tak menghentikan pergerakan mereka.

“Lo udah pastiin pasang silencer untuk meredam suara tembakan?”

“Sudah, Bos,” jawab Jonathan yang dibalas Sano dengan dengusan geli dan mengangguk. Sano bukan siapa-siapa, sialan! Tapi kenapa dia dipanggil “Bos”?!

“Panas telinga gue,” gumamnya mendapat kekehan kecil dari Aldo.

“Mau bagaimanapun, Taranos adalah bawahan Taraka. Biasakan telinga lo itu, San,” ungkap Aldo yang hanya diangguki Sano. Ia malas berdebat, meskipun telinganya terasa risih karena panggilan tersebut.

Kembali, mereka semua fokus pada misi malam ini. Menunggu Jonathan dan Liberto yang tengah mencari tempat persembunyian aman dan melesakkan rentetan pelurunya. Hingga para anak buah Jeffry yang tengah berjaga di depan gudang tumbang. Sano menyeringai, tak ada suara tembakan yang menggelegar karena Taranos benar-benar mengerjakan sesuai dengan titahnya dengan baik.

Tak adanya suara tembakan itu, anak buah Jeffry yang sebagian masih bernyawa hanya mampu berjaga-jaga dan mencaritahu dari mana peluru itu berasal. Adapula sebagian dari mereka yang masuk ke dalam gudang, melindungi sang petinggi mereka.

Sano, Aldo, dan Aksa—Taranos—yang bertugas untuk mengeksekusi Jeffry secara langsung kini bersiap-siap sesaat setelah mendengar kode dari Nathan dan Dewa melalui earphone yang mereka kenakan. Anak buah Jeffry sudah tumbang, tak ada satu pun yang berjaga di depan gudang. Namun, di seberang sana Nathan masih terus saja mengoceh bak seorang Ibu tengah memeringatkan anak-anaknya untuk tetap hati-hati. Bagaimanapun juga, meski keadaan depan gudang Jeffry aman tanpa adanya anak buah, penyerangan dadakan masih bisa terjadi, bukan?

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang