07

776 135 218
                                    

Desas-desus para perempuan penggosip di koridor sekolah melesak masuk ke dalam kuping Raya. Baru saja beberapa saat memasuki area gedung kelas, sudah disambut dengan rentetan perkataan yang membuatnya ingin hilang dari muka bumi.

Raya heran, sebenarnya apa kesalahan yang telah Raya perbuat hingga dirinya selalu dipandang rendah oleh mereka-mereka? Sepertinya, dua bulan lalu ketia ia menapakkan kaki di sekolah ini sebagai murid baru, dirinya tidak pernah membuat kesalahan apa pun pada mereka. Tapi, mengapa seolah-olah Raya adalah sosok yang paling hina dan penuh dosa di sini?

Helaan napas berhembus dari kedua lubang hidungnya, mencoba mengokohkan hati agar tidak merasakan sakit yang teramat karena perkataan menyakitkan dari mereka. Sebenarnya, ini sudah tidak bisa dibilang sebagai bisik-bisik, karena apa yang mereka katakan betul-betul tertangkap jelas dalam indra pendengaran Raya.

Kepalanya selalu menunduk, jika boleh jujur, ia sedikit malu jika harus masuk ke sekolah dengan keadaan yang—bisa dibilang—mengenaskan. Wajahnya lebam karena luka dua hari yang lalu, badannya pun masih terasa sedikit remuk-remuk. Meski sebetulnya sang kakak dan juga Kris memaksa Raya untuk tetap diam di markas Taraka, gadis itu juga kekeuh pada pendiriannya untuk berangkat ke sekolah. Alasannya, hari ini ulangan matematika.

Sibuk menunduk dan menunduk, sentuhan pada pundak kirinya membuat Raya berhenti melangkah. Ia memberanikan diri untuk mendongak dan menoleh ke belakang, matanya terbeliak meski dalam hati mendecak kesal.

Tasya dan kedua dayangnya, berdiri dengan senyum menyeringai. Seolah-olah mereka adalah penguasa di sekolah ini, dengan gampangnya mendorong Raya hingga jatuh tersungkur.

Sial! Raya mengumpat dalam hati. Tasya semakin dibiarkan semakin kurang ajar padanya. Raya ingin melawan, namun ia sadar diri. Jika dia melawan, Tasya dan yang lainnya akan semakin memperlakukan Raya seperti seekor binatang.

Apa Raya harus mengungkap siapa dia? Apa ia harus membongkar identitasnya bahwa dirinya adalah anggota Taraka agar semua orang bersikap baik padanya?

Oh, tidak. Raya tidak gila. Nyawa dia sudah terancam dengan Na, tidak mungkin ia semakin membahayakan dirinya sendiri.

“Parah banget itu muka. Mau gue obatin?” tanya Tasya membungkukkan badannya, mensejajarkan wajahnya di depan wajah Raya. Ia meraih dagu Raya, dicengkeramnya dengan geram membuat Raya meringis merasakan sakit.

“Perempuan cupu, sok kecakepan, dan suka cari perhatian, juga ….” Tasya menunda perkataannya. Ia menyeringai puas, melirik ke belakang ke arah kedua temannya seperti memberikan sebuah kode. Setelahnya, ia kembali menatap Raya dan berujar, “Berpenyakitan.”

“Lo itu nggak pantas hidup, mending mati aja sana. Supaya manusia-manusia sampah kayak lo itu sedikit berkurang di dunia ini,” celetuk Yeji tajam.

“Udah sekarat, kan? Lo nggak usah berharap bisa sembuh dengan keadaan jantung lo yang lemah itu.” Kali ini perkataan menyakitkan dari Sena, si perempuan yang selalu bertekad untuk menjadi seorang model namun tak pernah bisa karena tersaingi oleh Neta dan Aby.

Gadis yang tengah dirundung itu, Raya Nirmala, sudah tak kuasa menahan sakit dalam hatinya. Ia segera menepis tangan Tasya dan mendorong sang perundung hingga terjembab ke lantai. Sontak, seisi koridor berteriak heboh. Tak sedikit pula yang mengabadikan momen tersebut.

Dengan lebaynya, Yeji dan Sena membantu Tasya untuk bangkit. Napas Raya menggebu-gebu, ia menatap tidak suka ke arah tiga orang di depannya. “Yang suka cari perhatian bukannya kalian, ya? Niat kalian buat merundung orang-orang apaan, sih, sebenernya? Mau cari sensasi aja, kan? Cuma mau caper ke mereka-mereka, mau dibilang paling hebat dan paling berkuasa di sini? Iya?”

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang