33

468 103 237
                                    

╔══ ✰ ══ ✮⭐✮ ══ ✰ ══╗

A L P H A – 33

╚══ ✰ ══ ✮⭐✮ ══ ✰ ══╝

Sano melayangkan tatapan tajam ke arah Dewa yang kini menggaruk tengkuknya kaku. Ingin marah, namun sebetulnya juga bukan kesalahan Dewa. Ya sudah, Sano hanya mampu menghela napas sabar. Rencana semalam gagal total. Niat awal ingin menjebak Neta, namun hangus sudah karena kedatangan Restu yang tiba-tiba ke markas.

“Udah kali, San, jangan ngambek gitu. Bukan salah Dewa juga,” ujar Aldo menenangkan Sano yang masih merasa kesal. Pasalnya, Dewa menghilang tiba-tiba, tak memberi kabar, membuat Sano dan tim satu—yang mengerti—kocar-kacir kebingungan.

“Tapi gue masih nggak percaya kalau Neta orangnya,” ujar Nathan.

“Bukti yang gue kasih ke kalian kurang?” tanya Dewa.

“Bukan kurang, udah cukup kuat buat ngebuktiin semuanya. Cuma, nih, ya ... Neta tuh anaknya kayak nggak kelihatan gitu. Santai banget tiap kita bahas soal pengkhianat Taraka. Malahan dia lebih mojok-mojokin ke Jihan. Padahal mereka berdua pengkhianatnya,” jelas Nathan panjang lebar.

“Lo lupa jabatan Neta di sini apa?” kata Devan kesal, “hal kayak gitu udah bukan apa-apa buat dia. Neta pinter nyamar.”

“Siapin ruang eksekusi. Tangan gue gatel mau bunuh dia,” ujar Sano seraya bangkit dari duduknya, hendak keluar dari ruangan kecil kedap suara yang berada di dalam Ruang Patra.

Ya, ruangan rahasia kedua—setelah Ruang Rata bawah tanah, tempat Taraka menyimpan senjata mereka—yang hanya bisa dimasuki Sano dan Aldo, selaku ketua dan wakil. Tapi atas izin keduanya, seluruh Taraka kecuali Aby, Raya, dan terutama Neta, masuk ke dalam untuk membicarakan masalah pengkhianat Taraka.

“Sano, bentar, jangan gegabah. Lo nggak mau susun rencana dulu?” tanya Tristan, mencegah Sano yang sudah memasukkan sandi untuk membuka pintu.

Sano menoleh, menghela napas berat, berpikir bahwa apa yang dikatakan Tristan memang benar. Ia tak bisa seperti ini, akan hancur lebur semuanya jika berjalan tanpa rencana.

Ponsel Aldo bergetar, mengalihkan fokus Taraka.

“Restu,” gumam Aldo.

“Angkat, loudspeaker, Bang,” ujar Sano yang diangguki Aldo.

“Halo?”

“Mau apa kalian di gudang semalam?”

Aldo menatap Sano, meminta bantuan untuk menjawab. Menghela napas lagi, Sano lantas berjalan mendekat ke arah Aldo, berdeham sebentar, kemudian berkata kepada Restu lewat telepon, “Maaf, ada sesuatu yang harus Taraka bicarakan. Tuan di mana? Bisa bertemu?”

“Ya. Kalian memang harus menjelaskan semuanya. Ke kantor, sekarang.”

Sambungan terputus, Taraka mengembuskan napas yang sempat mereka tahan secara bersamaan. Jantung yang berpacu lebih kencang dari biasanya, serta keringat dingin yang bercucuran padahal ruangan tidak panas sama sekali, ditambah raut cemas akan kemungkinan yang akan terjadi pada Taraka.

“Lo mau apa, San?” tanya Aldo setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku.

“Ngomong sama Restu, apa lagi?”

“Kalau kita kerja bareng Na?” tanya Dewa menimpali.

“Iya.”

“Gue belum mau mati, San. Besok mau nembak cewek, masa iya gue mati sekarang tanpa mengungkapkan perasaan gue, sih?” ujar Nathan dibarengi dengan raut wajahnya yang memelas. Karena kesal dengan Nathan, Devan meraih buku tulis yang selalu ia bawa ke mana pun, dan memukulkannya ke kepala Nathan.

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang