22

509 112 299
                                    

╔══ ✰ ══ ✮⭐✮ ══ ✰ ══╗

A L P H A – 22

╚══ ✰ ══ ✮⭐✮ ══ ✰ ══╝

Aroma harum masakan tercium sudah, membangkitkan cacing-cacing di perut yang mulai berdendang. Sepiring besar nasi goreng telah terpampang nyata di depan mereka—Raya, Aby, dan Neta. Joanna baru saja membuatkan nasi goreng untuk menu sarapan pagi ini. Ia tak begitu pandai memasak, namun untuk ukuran nasi goreng rumahan, baginya rasa ini sudah cukup lezat.

Neta dan Aby yang tak kenal malu langsung saja meraih piring kosong mereka dan menyendokkan nasi goreng buatan Joanna di piring mereka. Tentunya, setelah sang chef mempersilakan. Neta dan Aby masih punya tata krama, ya, asal kalian tahu.

Berbeda dengan Neta dan Aby yang begitu bersemangat, Raya jusru banyak diam setelah keluar dari kamar. Gadis itu menekuk wajahnya lesu, tatapannya pun kosong ke depan, membuat Joanna yang melihatnya merasa prihatin. Raya anak baik, tidak seharusnya ia menerima perlakuan seperti ini dari semesta.

Joanna pun menghampiri Raya, menyentuh pelan pucuk kepala Raya, sampai sang empu sedikit terkejut dan terbuyar dari lamunannya. Joanna tersenyum lembut, seraya mengusap surai halus milik Raya. “Kenapa melamun? Ayo makan.”

“Nggak selera, Kak.”

Neta dan Aby menghentikan kegiatannya, menatap Raya sendu. Neta berujar setelah meletakkan sendok dan garpunya, “Ray, makan itu bukan perkara selera atau enggak selera. Tapi kebutuhan.”

“Kalau lo nggak makan, apa nggak kasihan sama tubuh lo?” tanya Aby menimpali, “lihat, tubuh lo lemes banget, yakin nggak mau makan?”

Joanna tersenyum melihat bagaimana Neta dan Aby mengkhawatirkan Raya. Ia bersyukur, setidaknya gadis ini memiliki teman-teman yang bisa menjaga dan melindunginya seperti ini. Meskipun sebenarnya, karena adanya mereka-lah masalah terus ada. Joanna tidak menyalahkan terbentuknya Taraka, Joanna hanya menyayangkan, anak seusia mereka harus berhadapan dengan masalah besar. Ya, Joanna pun paham mengapa mereka seperti ini. Karena orang tua adalah yang utama.

“Makan, ya, Ray? Sedikit aja nggak apa-apa. Yang penting keisi, setelah itu obatnya diminum, dan kamu istirahat,” bujuk Joanna yang akhirnya meluluhkan hari Raya.

“Pinter,” ujar Joanna terkekeh. “Saya pergi dulu, ya? Ada praktik di Rumah Sakit. Kalian nggak apa-apa ditinggal sendiri?”

Neta dan Aby mengangguk. Aby menelan nasi gorengnya terlebih dahulu sebelum akhirnya berkata, “Tenang aja. Ada Neta yang pinter main senjata.”

Joanna terkekeh, “Iya, deh. Pintunya saya kunci dari luar, ya? Kalau ada yang ketuk pintu atau tekan bel, jangan dibukain. Saya kasih kalian kunci cadangan buat jaga-jaga. Saya mungkin pulang sore.”

Lagi-lagi, Neta dan Aby mengangguk paham. Joanna pun merapikan barang-barangnya, sebelumnya ia sempat meminum segelas susu lalu bergegas menuju ke Rumah Sakit.

Melihat Joanna yang sudah menghilang, diikuti suara pintu tertutup dan terkunci dari luar, Raya meletakkan sendoknya sendikit kasar di atas piring, di mana hal ini mengakibatkan atensi Neta dan Aby yang tengah terfokus pada nasi goreng harus teralihkan. Mereka berdua menatap Raya yang menunduk dalam, mengernyit, tidak tahu ada apa dengan Raya.

“Lo kenapa?” tanya Aby dan Raya hanya menggeleng.

Neta yang sepertinya paham ada apa dengan Raya, lantas mengembuskan napas lelah. “Jangan khawatir sama anak Taraka. Mereka pasti baik-baik aja.”

“Gue sempet denger erangan, nggak tahu suara siapa, tapi gue yakin gue denger.”

“Maksud lo? Taraka luka?” tanya Aby dan Raya mengangguk.

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang