08

855 129 553
                                    

Beberapa anak Taraka tengah berkumpul santai di ruang tamu, dengan suara Dewa dan Nathan yang saling bersahutan karena ribut bermain playstation. Ada pula Sano yang duduk di sofa dengan pandangan datar. Entah mengapa, dia merasa biasa saja ketika Jihan bergelayut manja pada lengannya. Dalam pikirannya justru memikirkan gadis yang sedang asyik memakan es krim dan sesekali tertawa melihat tingkah teman-temannya.

Sano tidak paham, ada apa dengan dirinya? Kenapa akhir-akhir ini selalu memikirkan dan mengkhawatirkan Raya?

Suara langkah kaki yang menuruni tangga mengalihkan atensi penghuni ruang tamu. Terlihat Neta yang sudah rapi dengan kemeja putih dan celana jeans serta ransel kecil yang berada di punggungnya. Seketika, Dewa dan Nathan menghentikan permainannya, tidak memedulikan mobil di layar televisi dalam permainan playstation tersebut yang sudah terbalik karena menabrak satu sama lain.

“Mau ke mana?” tanya Raya seraya menyuapkan satu sendok es krim ke dalam mulutnya.

“Mau balik, bokap sama nyokap barusan pulang dari China,” jawab Neta dengan kedua tangan yang masih mengikat rambutnya.

Tiba-tiba, Dewa bersuara, “Gue anter.” Pria itu meletakkan stik playstation-nya dan bangkit mengambil hoodie hitam yang menyampir santai di sofa. Neta mengerutkan dahinya bingung, ia belum mengiyakan tawaran Dewa, tapi mengapa pria itu sudah bersiap-siap?

“Yuk,” ajak Dewa seraya berjalan lebih dulu.

“Kan, gue belum bilang ‘iya’, kenapa lo main nyelonong aja, sih?” gerutu Neta. Dewa berbalik, membuka penutup kepalanya dan menatap Neta. Mereka berdua kini menjadi tontonan gratis anak-anak Taraka yang berada di ruang tamu, tak terkecuali Raya yang sibuk memakan es krim sembari memperhatikan keduanya.

“Pokoknya gue mau anter.”

“Kalau gue nggak mau?”

“Harus mau.”

“Maksa banget, sih!”

“Emang.”

Kesal, Neta menjejakkan kakinya di lantai. Tangannya mengepal geram, ingin rasanya merobek-robek mulut Dewa. Baru saja ia hendak melangkah menghampiri Dewa untuk memukul pria yang lebih tinggi darinya itu, ponselnya sudah berbunyi. Neta yakin, itu pasti mamanya. Ia menghela napasnya kasar, dalam hatinya berujar, dasar wanita tua, nggak sabaran banget!

“Udah sana, pergi kalian, berantem mulu. Awas jadian!” goda Nathan seraya menarik Devan untuk bermain playstation bersamanya menggantikan Dewa. Devan hanya menurut saja, meskipun dalam hati ia menyumpah serapahi Nathan.

Bagaimana Devan tidak kesal, ia tengah sibuk menulis sajak di bukunya, namun dengan tanpa dosanya Nathan menarik Devan untuk menemaninya. Karena tak siap, setengah dari tulisan Devan tercoret bolpoin yang ia pegang tadi. Alhasil, si Tuan Sajak—sebutan untuknya dari Taraka—itu harus menulisnya ulang nanti. Sialan memang.

“Gue? Jadian sama Dewa? Big no! Najis tahu, nggak?” ujar Neta seraya bergidik geli.

“Jangan bilang gitu, entar kayak di novel-novel itu gimana? Yang musuh jadi cinta,” goda Raya gemas.

“Nggak akan!” Neta terus saja mengelak, sedangkan Dewa hanya berdiri menunggu Neta yang katanya ingin pulang namun tak pulang-pulang, padahal Dewa sudah siap mengantarnya. Tidak, Dewa tidak semata-mata ingin mengantar Neta, ia juga ada keperluan ingin pulang ke rumahnya sebentar untuk mengambil beberapa barang.

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang