05

1K 149 184
                                    

Suasana hening dan tegang menyelimuti sebuah ruangan kedap suara berukuran 12×10 meter persegi ini. Nuansa putih yang mendominasi, juga beberapa jaket dengan lambang bintang dan mahkota yang menempel pada salah satu bagian dinding ruangan.

Seorang pria dengan tatapan dinginnya tengah menatap anggota Taraka satu per satu. Kerlingan matanya seolah meminta penjelasan mengenai apa yang sudah terjadi selama dia tidak berada di kota ini. Aldo—kakak Raya—berdeham setelah beberapa saat mendiamkan Taraka.

“Jelasin.”

“Malam itu Na minta ketemu. Gue sendiri dan dijebak sama dia, akhirnya gue minta tolong Sano buat samperin ke gudang tua dan bawa beberapa anak buah. Suasana markas waktu itu memang sedikit sepi, cuma ada Dewa di ruang kerja, Neta dan Jihan di kamar, dan tiga anak buah di depan. Tentunya, Raya di kamar.”

Kris menjeda ceritanya ketika matanya menangkap gerakan Aldo yang tengah mengusap kasar surainya. “Lanjut,” pinta Aldo membuat Kris menganggukkan kepalanya.

“Waktu Neta mau cek keadaan Raya di kamar, karena posisi Raya waktu itu baru ditind—”

“Raya ditindas lagi?” potong Aldo cepat dengan mata membola.

“Iya.”

Helaan napas keluar dari hidung Aldo, ia benar-benar frustasi karena masalah yang menimpa Taraka juga Raya. Kepalanya ia anggukkan dua kali sebagai instruksi agar Kris melanjutkan ceritanya.

“Neta belum sempat cek Raya, karena katanya tiba-tiba ada asap banyak dan itu bikin dia ngantuk terus tidur di ruang tamu. Bahkan, dia sadar waktu anggota Taraka lain datang. Dewa udah coba cek cctv, tapi nggak ada hasil.”

Kris menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan kisah di mana Kris begitu yakin jika Aldo akan marah besar setelah mendengarnya. Ia melanjutkan, “Raya diculik Na dan disiksa di depan gue.”

Mata Aldo menatap Kris begitu tajam dan membunuh. “Itu kenapa lo tanda tangan perjanjian konyol itu?”

Kris mengangguk.

“Sekarang, kalian mau bunuh orang?”

Taraka mengangguk.

“Gimana kalau polisi tahu? Gimana juga kalau Restu sampai tahu? Gelar Alpha kalian bakal dicabut sama Restu. Bukannya kalian mati-matian dapatin gelar itu?”

“Bang, gue udah sering bunuh orang kalau lo lupa. Gue tahu taktik apa supaya nggak sampai ke telinga polisi,” celetuk Sano.

“Nggak semua taktik yang lo lakuin selama ini bakal berjalan dengan lancar, San. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Mungkin kita emang udah susun rencana sebaik mungkin, tapi apa kita bisa pastikan kalau dalam pengerjaan misi itu kita nggak akan ada halangan apa-apa? Belum pasti, kan?”

Taraka diam, membenarkan penuturan Aldo.

“Mau gimana lagi, Bang? Kris udah tanda tangani perjanjian itu. Na juga udah tahu rahasia besar Taraka soal Raya, kalau kita nggak jalani apa yang ada dalam perjanjian itu … bisa-bisa kita yang mati di tangan Na. Lagian, kita udah sering dapat job juga dari Restu. Bisalah, nggak apa-apa. Meskipun sejak awal kita nggak pernah pegang prinsip bunuh orang. Tapi mau gimana lagi? Yang udah terjadi, ya biarlah. Jalanin aja.” Tristan, anggota Taraka tertua itu angkat suara setelah diam dan mendengarkan segala celotehan antara Kris dan Aldo sejak tadi.

“Ya udah. Susun rencana kalian baik-baik. Sano, karena lo udah sering melayangkan nyawa orang, gue serahkan semua ini ke lo dan Kris. Gue pergi.” Aldo bangkit dari kursinya, keluar dari ruang rapat milik Taraka setelah sebelumnya membanting pintu dengan keras. Entah ke mana Aldo akan pergi, mungkin menemui Raya di kamarnya.

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang