01

6.9K 342 385
                                    

"Incaran selanjutnya," ujar Tasya seraya bangkit dari bangku kantin diikuti kedua dayangnya di belakang. Tasya mengikuti ke mana gadis polos itu pergi, sepertinya ini akan seru.

Setelah dua menit berlalu, gadis yang Tasya ikuti merasa aneh, ia pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Matanya membola, namun sesegera mungkin ia netralkan dari keterkejutannya.

"Kaget?" tanya Tasya yang terdengar seperti ancaman. Gadis itu, Raya, hanya mampu menghela napasnya kasar.

Tasya mendekat, mengikis jarak di antara dirinya dan juga Raya. Dua dayangnya di belakang, Yeji dan Sena tersenyum miring melihat Raya yang perlahan mundur. Sebenarnya, bisa saja Raya kabur, namun ia malas. Tidak, Raya tidak takut dengan Tasya, ia hanya khawatir jika berlari akan memperparah jantungnya.

Tasya menarik Raya, membawanya berlari menuju gudang sekolah.

Raya kelimpungan, tak bisa mengimbangi Tasya yang berlari begitu cepat. Raya mengumpat dalam hati, Tasya begitu tahu di mana kelemahan Raya. Jika tidak berhenti berlari, bisa-bisa Raya akan mati di sini.

"Tasya, stop!" teriak Raya dengan napas terengah-engah.

"Apa? Nggak kuat? Cemen banget baru lari segini udah ngos-ngosan," tantangnya setelah berhenti berlari. Tasya tersenyum miring melihat Raya yang memegang dadanya, jam yang melingkar di pergelangan tangan Raya berbunyi, menandakan jantung Raya yang tidak baik-baik saja.

Raya merasa sesak, dadanya begitu sakit dan nyeri. Ia menatap Tasya penuh kebencian, namun terbesit juga tatapan memohon uluran tangan dari Tasya. Tak puas melihat Raya kesakitan dan tersiksa, Tasya meraih ember bekas cucian pel yang kebetulan ada di sekitar tempat mereka berdiri. Dengan seringaian puas, Tasya mengguyurkan air pel tersebut ke tubuh Raya.

"Rasain! Makanya, nggak usah sok jadi orang," desis Tasya dengan tajam. Ia mendorong Raya sampai terjatuh di bawah kakinya, menjambak rambut Raya ke belakang membuat sang empu meringis sakit.

Raya tak kuat, ini dingin, menyakitkan, jantungnya pun berpacu begitu kencang, bahkan bunyi pada jamnya tak kunjung berhenti. "Stop, sakit, Tasya-argh!" rintihnya ketika perutnya ditendang Tasya.

"Gue mau lo mat—berengsek!" umpatnya ketika mendapat tarikan pada rambutnya, membuat Tasya mendongak. "Lepasin anj—" ucapannya terhenti ketika tahu siapa yang sudah menarik rambutnya.

"Mau ngomong apa? Kenapa nggak diterusin? Mau ngatain gue?" tantang Neta, perempuan dengan segala kelebihannya. Cantik, pintar, dan juga seorang model. Sepertinya menjadi Neta adalah impian semua para perempuan. Mendapat perhatian lebih di sekolah, dilirik para lelaki dari ujung ke ujung adalah kesenangan tersendiri bagi para perempuan. Tentu, semua ingin menjadi Neta yang nyaris sempurna.

"Nggak ada capek-capeknya lo berlaku seperti babi di sini," lanjut Neta dengan mulutnya yang tajam.

"Lo yang babi, sialan," jawab Tasya tak terima.

"Gue? Kenapa bisa?"

"Berhenti gagalin rencana gue buat hancurin gadis sok suci ini," ujar Tasya memperingati, "gue heran, lo itu anak Taraka, gangster terbesar yang ditakuti di kota ini. Hubungan lo sama Raya itu apa? Nggak ada, kan? Gue tahu lo itu licik banget, palingan nih, ya, lo selamatin Raya dari gue dan lo bakal jadiin Raya bahan mainan kalian. Iya, kan?"

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang