Termenung dengan tatapan yang kosong, ia masih belum bisa menerima kenyataan jika kekasihnya telah pergi tanpa pamit. Bahkan, dia pun masih belum mau berbicara sepatah kata apa pun pada semua orang. Mencoba menerima kenyataan jika ini memang benar-benar terjadi pada hidupnya, tetapi … rasanya sulit sekali mempercayainya.
Menarik napas dan menghembuskannya, adalah kegiatan yang terus saja dilakukan Raya berulang-ulang. Sang kakak, Aldo telah menjelaskan mengenai kejadian yang terjadi hari ini. Mulai dari pencarian Kris yang berujung penemuan jasad pria itu sampai proses pemakaman diam-diam yang dilakukan Taraka di belakang Raya.
Suara pintu terbuka, menampakkan Sano yang menyembul di balik celah pintu. Pria itu memperhatikan kondisi Raya yang sedikit mengenaskan. Duduk di atas ranjang dengan menekuk lututnya dan pandangan yang kosong.
Karena tidak tega, Sano memilih untuk menutup pintu kembali dan membiarkan Raya tenang terlebih dahulu. Namun, niatnya ia urungkan ketika mendapati bulir-bulir air mata yang perlahan menetes dari mata kiri Raya. Tidak menunggu lama lagi, Sano masuk dan mengusap air mata itu.
“Jangan nangis.”
Diam, Raya tidak menjawab.
Sano menarik ibu jarinya dari pipi Raya, beralih menatap lekat wajah manis nan lugu milik Raya. Tidak sadar, ia tersenyum kecil.
“Ray,” panggil Sano. Dia sedikit bersorak ketika Raya meliriknya.
“Ini memang rencana anak Taraka, memakamkan Kris tanpa sepengetahuan lo dan kasih tahu lo setelah pemakaman selesai. Karena kita tahu risiko apa yang akan terjadi kalau sampai lo ikut ke pemakaman, Ray. Di sana memang cuma anak Taraka, beberapa Taranos, dan Restu. Tapi, nggak menutup kemungkinan kalau ada pengun–”
Sano menghentikan ucapannya ketika kedua netra itu menatap lekat kedua mata milik Sano pula, seakan-akan tatapan itu mengunci otomatis segala pergerakan yang Sano ciptakan.
“Seenggaknya kalian kasih tahu gue dulu, izinin gue buat lihat Kris untuk terakhir kali. Kalian tahu, kan, seberapa sayangnya gue sama dia?”
Oh Tuhan … Sano bersyukur sekali karena Raya mau membuka suara setelah terdiam berjam-jam hari ini.
“Maaf.” Sano berpikir cukup lama untuk menjawab pertanyaan yang Raya lontarkan, namun nyatanya hanya gumaman kata ‘maaf’ yang keluar dari mulutnya.“Lo nggak salah. Jangan minta maaf. Gue tahu ini perintah mutlak dari abang.”
“Abang lakuin ini karena sayang sama kamu, Ray.” Mereka berdua, Sano dan Raya menoleh ke sumber suara yang berbeda di antara keduanya. Aldo telah berdiri di ambang pintu dengan tatapan mata mengarah ke dua orang di atas ranjang yang kini menatapnya. Dengan langkah perlahan, Aldo menghampiri keduanya. Pria itu menarik kursi rias dan mendekatkannya ke ranjang Raya.
“Ikhlaskan, relakan, dan lupakan. Kris sudah tenang di sana, jangan ditangisi terus-menerus karena itu nggak akan bikin dia bahagia. Maaf, maaf karena Abang lakukan ini semua ke kamu, kamu tahu segala risiko yang terjadi kalau kamu menampakkan diri ke publik sebagai anggota Taraka, kan? Abang takut, Ray … cukup Na saja yang tahu rahasia ini, jangan sampai yang lain pun tahu,” jelas Aldo lebih tenang dibanding sebelumnya.
“Kenapa nggak bilang dari awal kalau Kris memang udah nggak ada? Kenapa harus ketika Kris udah tertimbun tanah? Apa aku nggak berhak lihat Kris untuk terakhir kalinya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Alpha┆Mark Lee
Storie d'amore❝Lepas gelar Alpha, atau dia mati di tanganku.❞ 「 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐞𝐧𝐭 𝐰𝐚𝐫𝐧𝐢𝐧𝐠 」 harsh words, murder, violence, death, etc. ©2020, shani.