18

584 109 381
                                    

Malam berganti pagi, bulan pun berganti tugas dengan sang mentari yang kini mulai menampakkan sinarnya. Deringan alarm menyapu indera pendengaran Raya. Gadis itu menggeliat, namun merasa pergerakannya tak leluasa. Sadar ada sesuatu yang keras di depannya, Raya memundurkan sedikit tubuhnya, terdapat Aldo tengah tertidur dengan pulas. Lengan kanannya yang ternyata Raya jadikan bantal, dan lengan kirinya memeluk pinggang Raya.

Tersenyum kecil, Raya merasa bangga memiliki Kakak seperti Aldo. Tampan? Iya. Pintar? Jangan ditanya. Sukses? Bisa dibilang begitu. Baik? Apalagi. Penyayang? Lebih. Lantas, Raya bergumam dalam hati, kakak ipar gue nantinya pasti beruntung banget dapet Abang.

Terbuyar dari lamunanannya menatap Aldo. Raya perlahan menyingkirkan lengan sang kakak dari pinggangnya. Ia meringis ketika merasakan tubuhnya sakit. Remuk sekali rasanya. Ia pun berusaha sekuat tenaga untuk turun dari ranjangnya, pelan sekali, takut membuat Aldo bangun. Raya mengerti, kakaknya sedang lelah. Tak mau ia membangunkannya. Biarkan saja sampai pria itu bangun sendiri.

Selesai dari proses turun ranjangnya, Raya kembali berusaha berjalan menuju ke kamar mandi. Sepertinya semalam ia masih bisa jalan dengan sedikit lancar, kenapa pagi ini tidak? Badannya terasa seperti dihantam balok kayu—ah, dia memang sempat dihantam balok kemarin.

Memandangi pantulan dirinya di cermin. Mengenaskan. Raya mendesis, sebegitu bencinya-kah semesta pada Raya, sampai-sampai selalu membuat Raya hampir tidak pernah merasakan bahagia? Dosa besar apa yang telah Raya perbuat di kehidupan sebelumnya hingga Tuhan memberinya cobaan begitu berat? Tak puaskah Dia memberi jantung yang tidak sehat pada Raya? Kenapa pula Tuhan memanggil Kris untuk kembali ke pangkuan-Nya pula? Belum cukupkah penderitaan Raya selama ini?

Raya lelah, Tuhan.

Menghela napasnya, Raya mencoba menenangkan dirinya lagi. Ia meyalakan keran air, membasuh wajahnya. Meringis, merasakan sakit pada beberapa bagian wajahnya, terutama pelipis. Raya membersihkan dirinya sejenak, berendam pada air hangat untuk membuatnya sedikit tenang. Raya memejamkan matanya menikmati. Lilin aromaterapi yang perlahan menyeruak masuk ke dalam rongga hidungnya, membuat Raya merasakan ketenangan yang berlebih. Juga … ia kembali merindukan Kris.

Berat sekali rasanya.

Tiga ketukan pada pintu kamar mandi membuat Raya membuka matanya. Terdengar suara Aldo di sana.

“Adek? Di dalam kamu?”

“Iya!” jawab Raya setengah berteriak.

Tak ada sahutan lagi, sepertinya Aldo sudah beranjak dari tempatnya. Kembali, Raya melanjutkan ritualnya. Menenangkan diri.

***

Hening menyelimuti Ruang Patra, sudah lima belas menit berlalu ketika semuanya berkumpul di sini. Pun, Tristan yang sudah kembali dari urusannya menggantikan Aldo. Tak ada yang berbicara, hanya detak jarum jam dan napas yang saling beradu. Sano benci situasi ini. Ia berdeham, membuat atensi Taraka mengarah padanya. Dalam hati, Neta berterima kasih pada Sano karenanya keheningan akan segera berakhir. Entahlah, tidak biasanya Taraka seperti ini.

“Tujuan kita ke sini buat apa? Kenapa diem aja?” tanyanya sedikit kesal, menatap anggota Taraka satu-satu. Ketika pandangannya bertemu dengan Raya, ia langsung beralih.

Sano melirik ke arah Aldo yang berada di seberangnya yang ternyata juga tengah menatap Sano. “Bang, langsung aja.”

Aldo mengangguk, menegakkan tubuhnya. Raya melirik kedua pria itu bergantian, begitu juga dengan anggota Taraka yang lain. Dalam benak mereka berpikir, sepertinya Aldo dan Sano sudah berunding mengenai apa yang akan Taraka bahas setelah ini.

“Ada beberapa yang akan kita bahas hari ini. Gue minta kerja samanya. Pertama, gue mau tanya dan gue harap kalian jujur soal ini.” Aldo menghentikan ucapannya, ia berdiri, menuju ke ujung meja yang membuatnya mudah menatap anggota Taraka.

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang