13

601 117 268
                                    

“Nggak ada yang mau berusaha bujuk Jihan untuk balik ke Taraka?” tanya Tristan kepada teman-temannya ketika mereka berkumpul santai di ruang tamu. Tidak ada Raya, gadis itu sudah tertidur pulas di kamarnya.

Tidak ada jawaban dari pertanyaan Tristan, semua anak Taraka sepertinya tidak memiliki niatan sedikit pun untuk menjawab. Menghela napas kasar, Tristan bersandar pada sofa.

“Jihan cuma kemakan emosi, gue nggak yakin kalau Jihan bener-bener mau keluar dari Taraka,” lanjut Tristan.

Devan yang tengah mengerjakan tugas sekolahnya lantas meletakkan bukunya begitu saja dan mengangguk menyetujui perkataan Tristan. “Gue setuju sama Tristan. Karena musuh terbesar manusia adalah amarahnya, kalau Jihan mampu kendaliin amarah itu, mungkin dia nggak akan bilang keluar dari Taraka. Toh, hampir dari kita semua juga sama-sama emosinya tadi.”

“Omongan dia yang bikin gue naik darah. Dia cemburu, tapi nggak seharusnya kayak gini. Sano hanya sebatas mau tenangin Raya, nggak lebih,” sahut Neta.

“Jihan kasihan juga, dia mau tinggal di mana? Balik ke panti asuhan lagi?” tanya Aby yang tiba-tiba merasa iba kepada Jihan.

Sano menghela napas, entah mengapa dia juga sedikit mencemaskan keadaan Jihan saat ini. Apa gadis itu baik-baik saja?

Ia membuka ponselnya, mengundang atensi anak-anak Taraka yang kini menatap Sano. Terlihat pria itu mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya.

Sano: Di mana?

Belum ada jawaban dari sang penerima pesan, Sano menutup ponselnya dan mendongak. Ia sedikit mengerjapkan beberapa kali matanya karena tatapan anak Taraka yang penuh dengan tanya.

“Apa?” tanya Sano. Taraka menggeleng bersamaan, kembali pada kegiatannya masing-masing.

Devan melanjutkan mengerjakan tugasnya. Tristan beranjak dari sofa, bergabung untuk bermain kartu dengan Dewa dan Nathan yang duduk di karpet. Neta dan Aby sama-sama menggulir ponselnya masing-masing, entah apa yang mereka lakukan, mungkin bermain sosial media. Aldo pula, sudah merebahkan badannya di atas karpet seraya matanya menatap langit-langit ruang tamu.

Ponsel Sano berdenting, sesegera mungkin ia membuka ponselnya. Sano kira adalah balasan dari pesan yang ia kirimkan pada Jihan, tapi ternyata ….

“Na kasih kita misi. Besok malam,” ucap Sano yang membuat Taraka mendadak menghentikan kegiatannya. Aldo langsung terduduk dengan terkejut. Raut wajahnya terlihat tegang, kerutan pada keningnya pun mulai terlihat.

“Dia gila? Apa nggak mikir kalau Taraka lagi berduka gini?” tanya Neta tidak percaya dengan sifat Na yang suka seenaknya.

“Dia mana pernah peduli, sih?” timpal Dewa memijit pelipisnya pening.

“Tapi seenggaknya dia sedikit ngertiin keadaan, dong. Nggak gini caranya,” jawab Neta lagi.

Aby bersuara, “Nggak bisa dibatalin? Plis, lah … kita baru kehilangan Ketua Taraka.”

Drrt … drrt

Na is calling

“Aku tidak menerima penolakan. Jalankan misi kalian dengan baik. Atau jika tidak … Raya akan menjadi taruhannya.”

“Jangan gila, Tuan Na. Taraka sedang dalam masa berduka, tidak bisakah Anda menghormati kami sedikit?”

Sano menggertakkan gigi-giginya menahan amarah. Sedangkan anak Taraka meminta Sano untuk menyalakan fitur loudspeaker pada ponselnya agar mereka semua mendengar jelas apa yang tengah Na katakan.

Na tertawa di seberang sana, “Kalian adalah bawahanku. Seharusnya kalian yang patuh dan tunduk padaku.”

“Dasar iblis.”

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang