Wajah Syafa masih menyiratkan kesedihan, mungkin merasa bersalah karena tidak sempat memiliki waktu yang banyak dengan Mendiang Opa. Apalagi memikirkan permintaan Mendiang yang ingin melihat Dirinya menikah dengan Ibram. Bukan orang lain, sebab Opa nya tahu kalau Ibram adalah pria yang baik dan InsyaaAllah bisa menjadi Imam yang baik.
"Jadi bagaimana? Permintaan Opa hanya satu. Pasti Syafa sudah tahu dengan permintaan itu" ucap Ayahnya setelah Tahlilan dilakukan.
Masih dengan wajah yang basah, mata yang bengkak Syafa melihat ke arah Ayahnya.
"Ayah..""Sekarang tinggal menunggu jawabanmu Mba, kalau kamu mau kita akan persiapkan segalanya. Lagipula Ibram sudah mengutarakan niat baiknya" Syafa semakin menangis, bayang-bayang wajah Opa yang memintanya menikah terlintas jelas
"Sekarang kita masih dalam keadaan berduka, Ayah. Apa nanti pembicaraan orang-orang," Lirih Syafa malam itu. Suaranya sudah sangat lemah karena menagis seharian. Memang tidak meraung-raung, tapi tangisan yang di tahannya saat ucapan belasungkawa selalu terlontar dari bibir orang-orangn yang melayat membuatnya hanya bisa menangis tanpa membalas.
"Mba.. kalau memang belum siap, tidak masalah. Tapi ingat jangan terlalu ambisius dengan dunia ini. Paham kan maksud Oma?" Syafa menganggukan kepalanya pelan.
Mengingat kembali percakapan malam itu, dia duduk ditemani Ibram. Abang Asuhnya itu tidak membiarkan Syafa sendiri, karena dua minggu setelah kepergian Sang Opa membuat Syafa tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya. Menangis hingga pingsan di ruangan sendirian.
"Dek.. " Ibram memanggil dengan pelan. "Dua minggu lagi, Aku bakal berangkat ke Libanon. Mau ninggalin kamu gimana kondisi kamu masih kaya gini dek," Syafa lansung menatap Ibram yang duduk di sampingnya.
"Kondisi Aku kenapa Bang?" Ibram menatap Syafa kemudian menghela nafas pelan.
"Kamu masih dalam suasana duka, takutnya kamu sedih terus pingsan lagi kaya waktu itu dek" Syafa tersenyum kecil.
"Aku nggak masalah Bang, Aku udah nggak apa-apa. Aku kaget aja waktu itu Bang," Ibram menganggukan kepala pelan.
"Jangan sedih terus dek, kalau kamu merasa menyesal karena nggak ada waktu jangan kaya gini." Syafa menatap Ibram "Kalau kamu belum siap nikah, nggak masalah dek. Aku tau selama ini kamu pikir tentang itu, kalau kamu pikir bukan Aku. Kamu bisa jujur sama Aku, Aku nggak akan paksa kamu dek" ucap Ibram pelan dengan menatap mata Syafa dalam.
"Bukan itu Bang, bukan masalah Bang Ibram atau orang lain. Tapi Aku masih ingin berkarir, Aku ingin kita berdua seimbang" Syafa berucap dengan lirih, mata sipitnya sudah berkaca-kaca.
"Kamu merasa tertekan?"
"Tertekan?"
"Iya, jujur dek."
"Aku merasa Bang Ibram terlalu mengikatku, satu angkatan tahu tentang kita berdua, sekarang satu kantor tahu kalau kita berdua dekat. Memang bukan pacaran, tapi selalu kemana-mana berdua, itu sudah sangat jelas dari pandangan mereka. Kita belum muhrim Bang,"
"Beri Aku waktu.Aku janji setelah dari Libanon kalau kamu siap, Aku Akan lamar kamu dengan keluargaku. Kalau belum, mungkin kita belum ada garis jodohnya" Ibram berbicara dengan wajah yang serius.
Setelah pembicaraan mereka yang sudah membahas persoalan serius, kedekatan mereka berkurang. Pertemuan yang dulunya intens, sekarang sedikit berkurang. Bukan apa-apa, mereka mencoba belajar untuk saling menjauhi satu sama lain. Mungkin belajar untuk berpisah sementara waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khitbah dan Siaga (END)
General FictionSequel He Is Marinir (spesial Anak sulung Aldzi dan Izza) Serial Syafa Syailendra 🤗 ... "Laki-laki terlalu segan denganmu Kak, cobalah untuk merendah. Segigih apapun Kakak meraih gelar dan pangkat, Kakak perempuan dan perempuan itu sebagai Makmum d...