Bagian 22

751 73 8
                                    

Pernahkah kalian merasakan kekecewaan yang sangat mendalam pada seseorang, Syafa merasakannya setelah mendengar pengakuan dari Ibram bahwa dia sudah dijodohkan dengan perempuan yang sangat dikenalnya bahkan sudah dianggap selayaknya saudara. Dea Maharani, adik asuh nya sewaktu masih di Malang dulu.

"Aku ikut bahagia saat mendengar siapa yang akan mendampingimu Bang, walau dalam hatiku belum ikhlas menerima ini semua. Apa bedanya Aku dengan Dea yang sama-sama seorang polisi Bang?"

"Tidak ada perbedaan antara kalian berdua-"

"Lantas kenapa harus yang satu profesi denganku yang menjadi pendampingmu? Bukankah Ibu takut kalau nantinya kesibukan karir akan mengacuhkan kamu dikemudian hari Bang? Tolong jelaskan Bang.."

"Aku tidak bisa menjelaskan Syafa."

"Iya, karena kamu tidak tahu dengan kemauan Ibu. Katamu bisa untuk meyakinkan Ibu, Aku menunggunya Bang, tapi apa hubungan kita hanya jalan ditempat tidak ada titik terangnya. Aku siap untuk nantinya Aku akan bertugas di Kantor bukan di Lapangan seperti biasanya, tapi Ibu tidak menerima itu. Aku masih ingat dengan jelas saat Ibu menolakku dengan mengatakan kalau nantinya Aku tidak bisa mengurusmu dengan baik nantinya."

Syafa menangis tersedu saat mengingat percakapan terakhir mereka sebelum akhirnya Ibram membentaknya dengan keras di Kafe tempat pertemuan mereka.

"Sudah Aku usakan! Kamu yang menolakku saat Ibu mendukung penuh hubungan kita berdua, berapa kali kamu menolakku Syafa? Dua Kali kalau kamu lupa!!" bentakan keras Ibram membuat Syafa memandangnya tidak percaya.

"Jangan seluruh kesalahan kamu limpahkan kepadaku, kamu juga disini salah karena selalu menolakku!" desis Ibram menatap mata Syafa yang berkaca dengan tajam. Syafa menganggukan kepalanya mengakui kebenaran yang diucapkan oleh Ibram.

"Iya. Aku mengaku salah. Tapi Aku juga sudah menjatuhkan harga diriku didepan Ibu memohon meminta restunya di tempat umum Bang. Mungkin memang kita tidak ditakdirkan untuk berjodoh sebagai pasangan hidup."

Syafa memandang keluar jendela yang membuat Ibram menghembuskan nafasnya berat, apalagi saat mendengar suara isak tangis Syafa yang sengaja disembunyikannya. Ibram tahu kalau disini mereka berdua sama-sama tersakiti untuk yang kesekian kalinya.

"Seandainya waktu itu kamu menerima lamaranku tanpa menunggu kamu menjadi Iptu mungkin tidak akan serumit ini, dek.." Lirih suara Ibram yang membuat Syafa semakin menangis.

Menyesali segala sesuatunya yang membuat mereka sama-sama terluka, Ibram yang menyesali tidak bisa meyakinkan Ibunya, sedangkan Syafa menyesali kenapa selalu menolak Ibram saat dia sudah siap dengan pernikahan restu sudah tidak berpihak padanya.

"Aku akan kembali ke Makassar besok, Aku berharap Bang Ibram tidak menyakiti Dea. Aku titip pesan pada Dea untuk mengurusmu dengan baik kedepannya dan salam untuk Ibu dariku. Aku permisi Bang, Assalamu'alaikum.." Setelah mengatakan kalimat perpisahan itu, Syafa keluar dari mobil Ibram. Ibram tidak lagi menahannya.


Mungkin besok dia akan mengantar Syafa ke Bandara untuk yang terakhir kalinya.


...

Sejak subuh, Ibram sudah berada diruang tunggu Bandara. Menunggu Syafa yang kali ini akan kembali ke Makassar. Ibram melihat Syafa turun dari Taksi. Ya dia tidak diantar oleh keluarga, dan itu membuat Ibram bertanya-tanya.

"Syafa.." Panggilnya membuat Syafa membalik badan dan menatapnya. Ibram melangkah cepat, menghampiri Syafa.

"Komandan sama Ibu mana?" Syafa tidak berniat melepaskan kacamata hitam yang dipakainya untuk menyembunyikan mata sembabnya.

"Ohiya, Bunda sama Ayah masih istirahat jadi nggak mau ganggu." Ibram menganggukan kepalanya pelan.

"Bagaimana?"

Khitbah dan Siaga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang