Bagian 23

806 69 4
                                    

Ibram pov

Aku bisa tahu saat mereka memandangku tanpa banyak kata, karna satu keputusanku yang membuat itu terjadi. Ya Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Dea tanpa mengabari, Syafa ataupun keluarganya. Tapi Aku percaya kalau sekarang Syafa sudah tahu dengan kelutusanku. Mengingat banyak yang membicarakan tentang ini.

Setelah tiga bulan lamanya, melakukan persiapan berkas yang membuatku malas untuk selalu bertemu dengan Dea. tapi itu adalah suatu keharusan, kalau saja dengan Syafa, mungkin Aku akan sangat bersemangat mempersiapkan segalanya. Tapi mereka sama-sama perempuan tapi orang yang berbeda.
Ah iya, Aku juga belum terbuka pada Dea tentang usaha kecilku. Yang mengetahui dengan jelas itu semua adalah Syafa, sebab dia yang selalu menemaniku saat proses pembangunan ataupun pendirian usaha itu.

“Izin Bang, Didepan ada yang ingin bertemu.” Ucap salah satu juniorku.

“Siapa?” karena seingatku Aku tidak memiliki janji pertemuan dengan siapapun, apalagi Dea.

“Izin, atas nama Letda Sakha.” Aku lansung menatap penuh pada juniorku yang dengan cepat mengangguk. Aku lansung melangkah keluar untuk menemui Sakha.

Dia tidak memakai seragam dinasnya, melainkan memakai kaos berwarna Navy dengan celana chino berwarna Mocca tidak lupa dengan postur badannya yang sangat mirip dengan Komandan Aldzi.

“Hormat Bang,” Aku memasang senyum tipis dan mengangguk. Sakha terlihat berbeda saat seperti ini. “Bang Ibram sibuk?”
Aku memandang Sakha yang menatapku, dengan cepat Aku menggelengkan kepalaku. Ya memang Aku tidak sibuk.

“Ada apa? Perlu ruang untuk bicara berdua?” Aku menawarkan pada Sakha yang terlihat serius.
Aku membawa Sakha ke Rumah dinas, yang membuat Sakha tahu isi rumahku yang semuanya penuh dengan kenangan tentang Kakak sulungnya.

“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?” Aku sudah tidak ingin untuk berbasa-basi, Sakha berdehem pelan dan menganggukan kepalanya.

“Ini mengenai pesan dari Mbak Syafa untuk Bang Ibram.” Kalimat pembuka Sakha mampu membuatku terdiam, “Mbak Syafa titip salam untuk Bang Ibram, dan Selamat untuk pernikahannya Bang.”

“Kenapa Syafa tidak mengatakannya lansung?”
“Bang Ibram tahu sendiri kalau sekarang Mba semakin sibuk, karena sebentar lagi dia akan dipindah tugaskan. Tapi satu hal, yang harus Bang Ibram tahu kalau Mba Syafa sedang berusaha untuk mengambil Beasiswa di Inggris melanjutkan S2 nya yang tertunda.”  Kalimat Sakha yang terakhir membuatku kaget, pasalnya tidak ada kabar apapun mengenai Syafa tentang itu.

“Kenapa tidak di Indonesia?”

“Sakha juga nggak tahu Bang kenapa Mba pilih disana, tapi sekarang Sakha bawa barang yang dititipkan Mba untuk Bang Ibram.” Ucap Sakha menyerahkan sesuatu yang sudah dibungkus dengan rapi.

“Ohiya Bang, salam dari Ayah sama Bunda, katanya lancar untuk persiapan pernikahannya.” Aku hanya tersenyum miris. Pada akhirnya berita ini sampai ketelinga mereka sekeluarga.
Mungkin akan Aku buka setelah Sakha pergi, mengenai barang-barang. Semuanya sudah dikembalikan Syafa waktu itu, apa mungkin masih ada yang tertinggal?

Bercerita sedikit membahas tentang Komandan, bersama Ibu serta Keluarga kecil Syifa. Semuanya kita bahas, karena mengingat pertemuan kita berdua sudah sangat lama sejak kepulangan Syafa yang terakhir kali saat pernikahan Kinar dulu.

Sakha berpamitan, tepat suara perempuan yang sudah Aku hapal diluar kepala. Dea datang lagi, dan berpapasan dipintu depan dengan Sakha.

“Mohon Izin Komandan,” kalimat pertama Dea dengan wajah yang canggung. Bukan tidak mungkin dia tidak mengetahui tentang Sakha.

Khitbah dan Siaga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang