Bagian 11

882 61 4
                                    

.....

"Aku akan menikah dengan perempuan yang di jodohkan denganku dek," Kalimat pertama yang membuat Syafa terdiam dan menatap wajah Ibram yang sendu.

"Maksudnya? Aku nggak ngerti Bang," Tanya Syafa dengan suara bergetar. Ibram mengulang kembali kalimat yang diucapkannya.

"Ibu ingin Aku menikah dengan perempuan pilihannya, dan Aku akan menuruti keinginan Ibu. Maaf.." Ibram berucap dengan pelan. Syafa menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Bang, Bercandanya jangan gini. Aku nggak suka." Ucap Syafa dengan bulir airmata yang sudah menetes.

"Syafa dengar, seandainya Kamu tidak menunda-nunda pernikahan kita. Semuanya nggak akan kaya gini, Aku udah nggak bisa nungguin kamu lebih lama." Syafa sudah menangis tergugu menatap Ibram yang menatapnya lekat.

"Bang.. Syafa siap untuk menikah tahun depan. Bang Ibram tidak harus menunggu sampai Syafa Iptu.."

"Semuanya udah terlambat dek, Aku seminggu lagi Lamaran. Aku kesini hanya untuk pamit, dan meminta maaf." Ibram berdiri meninggalkan rumah, dengan Syafa yang semakin menangis.

"Mba.. Mba Syafa kenapa Mba?" suara yang familiar dipendengaran Syafa, Syafa membuka matanya perlahan. Menatap sekitar dan melihat wajah Bingung Feby dan Dea.

"Kenapa Mba tidur sambil nangis? Mimpi buruk?" Pertanyaan Dea membuat Syafa tersadar kalau semuanya hanyalah mimpi.

"Apa Bang Ibram ada didepan, dik?" Pertanyaan Syafa membuat Dea menggelengkan kepalanya bingung.

"Nggak ada Bang Ibram didepan Mba, ini kita baru pulang dari supermarket dan Mba ketiduran disini sambil nangis." Syafa menghapus airmata yang membasahi pipi, semoga saja hanya mimpi.

"Kalian ngatur aja ya, Mba mau lansung istirahat. Capek banget soalnya. Nggak apa-apa?" Feby dan Dea menganggukan kepala. Hendak meninggalkan dapur, bel didepan berbunyi.

"Sebentar.." Syafa dengan cepat melangkah kedepan, membuka pintu dan dilihat wajah Ibram yang menatapnya dengan senyum tipis.

"Ganggu nggak?" Syafa menggelengkan kepala. Ingatannya kembali pada mimpi yang membuatnya takut bertemu dengan Ibram kali ini. "Ada yang mau Aku bicarain dek," Syafa hanya diam menatap Ibram. Apa mimpinya akan menjadi kenyataan?

"Kita duduk dulu, biar enak ceritanya dek." Syafa mengikuti Ibram yang duduk dikursi yang tersedia di teras.

"Udah habis makan, dek?" Syafa menganggukan kepala.

"Sudah Bang, Bang Ibram udah?"

"Udah. Mm.. gimana ya dek ceritanya?" Syafa mengernyitkan keningnya bingung.

"Aku senin nanti akan pindah kantor dek, dan kita akan jauhan. Aku akan pindah ke Surabaya." Senyum Syafa perlahan terbit, dia bersyukur bukan kalimat menyakitkan yang didengarnya, tapi kebahagiaan.

"Syafa ikut seneng kalau Bang Ibram pindah kesana. Jadi rumor yang tersebar dikantor itu ternyata Bang Ibram yang akan pindah dan jadi Kapolsek." Syafa berbicara dengan tersenyum menatap Ibram.

"Terus hubungan kita gimana?"

"Iya kita masih tetap Tunangan, Bang. Ini cincin yang disini nggak pernah Aku lepas." Ibram memejamkan matanya menahan Senyum dengan menatap kearah Syafa.

"Iya memang kita tunangan, tapi kalau kita jauhan gimana? Kamu masih mau nikah sama Aku kan?" Syafa tertawa mendengar pertanyaan konyol Ibram, sudah sangat jelas dia akan tetap menikah dengan Ibram. Abang asuhnya sendiri.

"Aku nggak akan nikah kalau bukan sama Bang Ibram, puas?" Jawaban Syafa membuat senyum Ibram terlihat tenang. Dengan gemas Syafa mencubit pipi bersih Ibram.

"Jadi Pak Kapolsek nih?" Ibram hanya menggelengkan kepala mendengar godaan Syafa.

"Kamu juga bakal jadi Kapolsek nanti dek." Syafa menganggukan kepala pelan. mereka bercerita hal-hal yang random. Bahkan Syafa lupa dengan mimpi buruk yang menjadi ketakutannya. Biarkanlah dia yang memendamnya sendiri, tidak perlu orang lain tahu.

"Ohiya, kata Ibu nanti kamu ikut ke Surabaya. Bisa dek?" Syafa lansung menganggukan kepalanya. Sudah lama tidak bertemu dengan calon mertua.

"Mungkin kita nikahnya dua tahun setelahnya nggak masalah?" Syafa tersenyum mendengar itu.

"Siap Bang, nggak ada masalah." Ibram tersenyum mendengar jawaban Syafa.


...

Jauh dari kota Malang, Orangtua Ibram berbincang dengan sangat serius. Bahkan sampai berdebat karena pendapat tidak sesuai dengan nalar mereka. Apalagi mendengar alasan dari sang istri membuat Papa Ibram menggeram kesal.

"Buang jauh-jauh pikiran kamu itu, apa salahnya kalau mereka berdua masih ingin berkarir Bu. Kalau mereka berdua memiliki karir yang bagus siapa juga yang bangga? Kita bu. Orangtua mereka." Suara Prasetya terdengar tegas.

"Pah, bukan masalah itunya. Tapi umur anakmu sudah tidak muda lagi, Aku mau anak kita itu ada yang ngurusin Pah," Fara menjelaskan alasannya.

"Jadi Syafa bukan yang terbaik? Dia kurang apa bu? Dia sopan, baik, cantik, bisa ngurusin Ibram. Mau cari yang gimana lagi sih?" Prasetyo kali ini berbicara dengan mata yang memadang tajam kearah sang istri. Ini bukan kali pertama mereka membahas tentang ini, dia sudah terlalu malas.

Melihat istrinya yang hanya diam membuatnya menghembuskan nafasnya pelan, mengatur emosi yang sempat naik.

"Bu, Selama Ibram tugas di Malang. Pernah nggak Ibu telfon terus denger kalau Syafa buat salah sama Ibram? Nggak pernah. Bahkan saat Ibram sakit siapa yang ngurusin dia kalau bukan Syafa? Udah ya bu. Jangan paksain kehendak Ibu yang buat anak-anak nanti tersiksa." Tutup Prasetyo dengan suara pelannya.

Sang istri hanya bisa diam, kalau dipikirkan Syafa memang tidak ada kurangnya sebagai calon menantu dan calon istri Ibram. Tapi yang membuatnya berubah pikiran adalah keinginan Syafa yang belum ada tentang pernikahan. ah bukan belum ada, tapi dia sudah tidak sabar dengan menggendong cucu dari putra semata wayangnya.

"Nanti biar Ibu yang jelasin ke Syafa kalau dia hadir diacara syukuran nanti. Semoga dia bisa hadir, karena kesempatan ini keluarga kita semuanya kumpul." Prasetyo menggelengkan kepala tidak habis pikir mendengar ucapan istrinya.

"Intinya jangan buat masalah yang buat keduanya bertengkar Bu." Fara berdecak mendengar ucapan suaminya.

"Aku Ibunya Ibram Pah, Aku ingin yang terbaik untuk Ibram," Ketus Farah emosi.

"Yang akan menjadi suami dan menjalani rumah tangga itu Ibram, bukan kamu Fara. Mereka bisa memilih mana yang baik buat mereka."

Fara menatap suaminya kesal, pergi meninggalkan suaminya sendiri diruang Keluarga membuat Prasetyo menggelengkan kepalanya heran dengan kelakuan istrinya.

"Heran Aku kenapa dia yang jadi uring-uringan karena hubungan anak-anak." Gumam Prasetyo pelan.


***

Halo semuanya SyafaIbram kembali lagi, maaf ya karena telat Update. Karena Authornya baru sembuh jadi baru bisa Update,


Mulai masuk ke konflik cerita ya teman-teman, jangan bosan menunggu cerita ini.


Dan cerita ini, mungkin nggak terlalu rame ya pembacanya. Buat authornya malas buat lanjutin karena nggak ada dukungan dari pembaca, bahkan viewnya semakin menurun. Kecewa? Ya pastinya.

Jangan lupa untuk vote dan komentar

Selalu jaga kesehatan, dan di rumah saja ya temans.. peluk jauh dari Author 🥰



Khitbah dan Siaga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang