Selamat membaca 🤗
...Bukan jaminan seseorang yang sudah saling kenal selama bertahun-tahun akan berakhir bersama, itu yang menjadi buah pikiran Syafa selama satu minggu ini. Malam ini dia bersama keluarganya akan berkunjung ke Surabaya.
Berulang kali handphone Syafa berdering, Ibram menghubungi Syafa sedari pagi sampai sore ini. Mungkin dia ingin bertanya maksud dari semua ini. Apa mungkin Ibram akan mengajukan protes? Mungkin Iya.
Tok tok tok
"Iya, masuk." Ujar Syafa dari dalam kamar.
"Ada Nak Ibram dibawah Mba.." dengan langkah cepat menuju pintu, apa dia tidak salah dengar? Ibram ada dibawah. Dirumahnya. "Turun ya Mba, bicarakan baik-baik dengan Ibram. Kasian dia kesini jauh-jauh." Ujar Izza pelan diakhiri senyum untuk menguatkan Syafa.
"Bunda bilang aja sama Bang Ibram, kalau Syafa nggak enak badan. Eh enggak, bilang aja Syafa nggak mau ketemu." Izza menggelengkan kepalanya menolak permintaan Syafa.
"Bukan anak bunda, kalau nggak bisa selesaikan masalah apalagi lari dalam masalah. Ditemuin ya, biar nggak ada beban lagi." Ucap Izza dengan mengusap pipi Syafa.
Sedari malam, Syafa tidak berhenti menangis. Bahkan sampai dirumah orangtuanya, Syafa lansung menceritakan permasalahan kepada orangtuanya. Dia yang meminta mutasi ke daerah terpencil diluar pulau jawa.
Syafa turun ke bawah dan melihat Ibram duduk dengan wajah datar dan sedikit kaget karena penampilan Syafa yang cukup berantakan. Mata sembab dan hidung yang masih memerah. Seberapa lama kekasihnya menangis sampai mata sipit itu bengkak?
"Bang Ibram kenapa bisa kesini?" Pertanyaan Syafa yang membuat Ibram menggelengkan kepalanya.
"Bang Ibram tungguin disini, kamu ganti baju. Kita bicara diluar biar enak." Bukannya menjawab pertanyaan Syafa, Ibram memperintahkan Syafa untuk ganti baju.
Syafa berlalu dari hadapan Ibram, meninggalkan Ibram tanpa kalimat apapun.
Kali ini Syafa tidak akan mengeluarkan airmata, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menahan airmata yang dari semalam tidak berhenti keluar. Sekarangpun, kepalanya sakit sekali.
"Izin Ibu, saya ingin ajak Syafa keluar sebentar." Ibram meminta izin pada Izza setelah melihat Syafa sudah siap pergi.
"Ohiya, diselesaikan baik-baik ya. Kalau memang itu yang terbaik, itu adalah takdir Tuhan." Izza berucap pelan. Karena dia tidak ingin melihat keduanya tersakiti hanya karena keegoisan orangtua.
Syafa membuka pintu belakang, Ibram tidak mempermasalahkan hal itu. Dia sudah sangat bersyukur saat Syafa mau diajak keluar.
Syafa diam sepanjang perjalanan, Ibram hanya bisa melihat Syafa dari kaca didepannya. Dia bisa tahu kalau Syafa menahan sesuatu yang sedari tadi ingin keluar.
Setelah sampai ditujuan, Ibram dengan cepat keluar dari depan ingin membukakan pintu belakang untuk Syafa tapi terlambat sebab Syafa sudah keluar lebih dulu.
Mereka seperti orang asing, dan itu yang membuat Ibram menahan kekesalannya.
"Dek, mau makan apa?" Tanya Ibram yang hanya dijawab dengan gelengan kepala.
"Mba, saya pesan nasi ayam peyet satu sama es jeruk. Terus dek nasi ayam kremes sambalnya dipisah, sama es jeruk juga tapi yang satu jangan banyak es nya. Itu aja Mba."
"Baik Mas. Ditunggu pesanannya ya"
Mereka menunggu pesanan siap dengan keheningan, Syafa yang hanya menunduk sedangkan Ibram yang tidak pernah melepas pandangannya pada Syafa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khitbah dan Siaga (END)
General FictionSequel He Is Marinir (spesial Anak sulung Aldzi dan Izza) Serial Syafa Syailendra 🤗 ... "Laki-laki terlalu segan denganmu Kak, cobalah untuk merendah. Segigih apapun Kakak meraih gelar dan pangkat, Kakak perempuan dan perempuan itu sebagai Makmum d...