Bagian 26

808 67 4
                                    

....
Keadaan di rumah dinas pasangan pengantin baru itu sangat hening, bahkan setelah 3 bulan saat sang istri memohon di kaki sang suami. Tapi tidak ada perubahan sama sekali dari sikap Ibram pada Dea. Sekarang lebih dingin dan tidak perduli dengan keadaan Dea yang selalu menyiapkannyang terbaik untuknya.

Seperti pagi ini, Dea sudah menyiapkan nasi goreng Ayam untuk Sarapan mereka pagi ini.

"Tidak perlu untuk memasak makanan yang kamu tidak bisa dan tidak tahu. Lagipula, sekeras apapun usahamu menarik perhatian saya tidak bisa berubah. Jangan berusaha untuk menjadi orang lain hanya untuk menyenangkan orang. Belajarlah untuk menjadi diri sendiri." Kalimat panjang Ibram pagi ini membuat Dea meghembuskan nafas lelahnya, ya dia sebenarnya lelah dengan usahanya yang hampir tiga bulan belum membuahkan hasil.

"Sampai kapan Bang Ibram akan seperti ini terus dengan hubungan kita?" Suara Dea menghentikan langkah Ibram yang akan pergi ke kantor. "Kita seperti orang asing yang tidak saling mengenal, di usia pernikahan kita sekarang perempuan yang tinggal bersamamu masih suci. Kamu sudah berdosa Bang, karena tidak memberikan Nafkah batin untukku. Apa bedanya Aku dengan Mbak Syafa? Apa Mbak Syafa sudah Bang Ibram sentuh?" Ibram menatap marah kearah Dea.

"Apa kamu ingin Aku sentuh?" Sindir Ibram pada Dea dengan tatapan tajamnya. "Dimana kamu ingin Disentuh?"desis Ibram dekat dengan wajah Dea.

"Dimana?" Teriak Ibram membuat Dea menahan tangis.

"Aku bisa menyentuhmu sekarang, dimana kamu ingin di sentuh? Disini? Atau disini?" Tantang Ibram menunjuk bibir dan leher Dea yang terbuka karena tidak memakai hijab.

"Bang.." ujar Dea pelan menatap Ibram dengan mata yang basah karena air mata

"Syafa memang tidak menutup auratnya seperti Kamu, tapi Dia bisa jaga dirinya dengan baik bahkan dia tidak pernah Aku peluk sekalipun. Jangan pernah mengatakan apapun itu tentang Syafa." Ibram pergi meninggalkan Dea yang menangis tanpa suara.

"Aku bukan malaikat seperti Mbak Syafa yang bisa sabar dengan perlakuanmu Bang, kalau memang Bang Ibram tidak bisa memperlakukanku dengan baik. Tidak masalah." Keputusan Dea sudah bulat. Dia tidak akan  meminta atau bahkan memohon pada Ibram seperti dulu. Dia akan hidup seperti sebelumnya, tanpa mengabaikan tugasnya sebagai seorang istri pada suami.

Berhari-hari bahkan berbulan-bulan mereka hidup dalam satu atap tapi tidak pernah sekalipun mereka berbicara berdua seperti layaknya pasangan suami istri. Segala keperluan Ibram selalu disiapkannya, tidak ada lagi makanan kesukaan Ibram diatas meja. Semuanya hanya sekedar masakan yang bisa Dea sajikan, makanan yang simple dan praktis.

Memasuki bulan ke delapan pernikahan mereka, Ibram harus dirawat di RS karena tipes yang mengakibatkan Dea harus merawatnya selama dirumah sakit.

"Bang Ibram, makan buah dulu" suara Dea membuat Ibram mengalihkan pandangannya pada sang Istri yang baru saja selesai dengan mengupas apel.

"Aku masih kenyang," tolak Ibram halus. Hampir satu minggu dia dirawat di Rumah sakit Bhayangkara, tapi tidak sekalipun Dea meninggalkannya. Bahkan Dea tidak sungkan membasuh tubuhnya dengan air hangat saat tubuhnya sudah harus dibersihkan.

"Sepotong saja Bang," bujuk Dea.

"Kamu semakin kurus semenjak menikah denganku," kalimat yang mengagetkan Dea.

"Pasti sangat tersiksa hidup bersama denganku, Aku memang pria yang pengecut. Tidak bisa membuka hati untuk orang lain setelah Syafa. Dia adalah perempuan yang sangat baik, gigih dengan apa yang diinginkannya. Dia selalu ingin menjadi yang terbaik, tidak heran bila dia ingin mengear cita-citanya sebelum menikah" Ungkap Ibram membuat Dea terdiam menyimak semuanya. Selama ini tidak pernah sekalipun dia mendengar Ibram bercerita tentang mantan tunangannya dengan gamblang padanya.

"Apa semua sudah dipenuhi dengan Mbak Syafa?" Tanya Dea pelan membuat Ibram diam sejenak

"Untuk sekarang Iya, karena dia bersamaku bukan waktu yang sebentar. Banyak kenangan yang tidak bisa dihilangkan begitu saja, Aku hanya minta agar kamu sabar dengan menungguku." Pinta Ibram dengan pelan. Mungkin selama ini Ibram bisa melihat kesungguhan hati Dea, apalagi mengingat selama seminggu ini selalu Dea yang menemani dan mengurus segalanya bahkan sampai menemaninya ke kamar mandi hanya sekedar buang air kecil karena kondisi tubuh Ibram belum baik.

Dea hanya bisa menganggukan kepalanya saat mendengar permintaan tulus dari Ibram suaminya. Untuk pertama kalinya Dea bisa mendengar cerita tentang kenangan Suaminya bersama mantan tunangannya tanpa rasa iri. Ya, Dea tidak merasa iri dengan mantan tunangan suaminya. Karena dia tahu kalau Mantan tunangan suaminya adalah masalalu suaminya sedangkan dirinya adalah masadepan Ibram.

Sambil menyuapi Ibram dengan buah yang sudah dibersihkannya dengan mendengarkan cerita Ibram tentang Syafa, bahkan dia bisa melihat bagaimana cara Ibram menceritakan masa-masa itu sambil tersenyum. Apakah sebahagia itu rasanya memiliki seorang Syafa.
...

Ada beberapa pasukan militer di Indonesia yang memiliki semboyan yang berbeda-beda disetiap divisi. Contohnya semboyan untuk pasukan khusus Angkatan Laut Kopaska yang mempunyai semboyan “Tan Hana Wighna Tan Sirna” artinya: “Tak ada rintangan yang tak dapat diatasi”. Bisa dibayangkan bagaimana cara mereka beroperasi hanya dengan mendengar semboyan tersebut.

Tanpa terkecuali, salah satu Komandan Kopaska yang memiliki rupa diatas rata-rata, tapi satu kekurangannya. Diusia yang sudh masuk kepala 3 tapi belum juga memiliki pasangan hidup, bukan tidak ingin mencari tapi dia lebih sibuk dengan karir.

Mayor Hemachandra Jazziel Radhika adalah salah satu komandan Kopaska yang sangat disegani, karena tidak pernah sekalipun gagal dalam operasi apapun.  Dia memiliki adik perempuan yang masih melanjutkan studi di Inggris, banyak yang mengira dirinya adalah seorang muslim, tapi tidak. Dia beragama kristen.

Berulang kali gagal dalam menjalin hubungan membuatnya malas untuk mengenal orang baru, dan parahnya tidak ada sekalipun kekasihnya yang memiliki keyakinan yang sama dengannya. Pasti berbeda.

Radika adalah nama panggilannya, tinggi 189 dengan berat badan ideal ditambah postur badan yang tegap membuatnya tidak susah untuk menaklukan perempuan diluar sana.

"Bang, bagaimana? Apa sudah punya calon kakak ipar untukku?" Suara perempuan yang membuatnya membuang nafas jengah. Ya, kali ini dia sedang mnghubungi adik semata wayangnya yang jauh dari jangkauan mata.

"Berhentilah bertanya hal konyol Chandrika, bagaimana dengan kuliahmu?" Radhika lansung mengalihkan topik.

"Seperti biasa Bang, teman polwanku yang selalu mendapat nilai tertinggi." Radhika mengernyitkan kening. Teman polwan? Sejak kapan adiknya memiliki teman seorang polisi. Dia memang seorang pakar hukum, tapi tidak bergaul dengan pasukan coklat.

"Polisi? Sejak kapan kamu berteman dengan polisi?"

"Aku bisa berteman dengannya karena dia sekelas denganku, bahkan dia selalu bersamaku sehari-hari. Bang Dhika harus melihat wajahnya. Aku sering mengirim foto kebersamaan kami di Instagram Bang. Dia memiliki mata yang indah, dan senyum yang manis. Bahkan tidak sedikit teman sekelasku yang menggodanya." Cerita Chandrika pada Abangnya

"Dia selalu dipuji oleh dosen, tapi anehnya dia tidak berhijan Bang tapi dia adalah pribadi yang sangat taat. Dia juga sangat lembut. Seandainya saja dia satu keyakinan dengan kita, mungkin akan Aku jodohkan denganmu Bang." Tidak ada sahutan dari Radhika, berulang kali dia dipanggil tapi tidak dijawab karena satu alasan yaitu ketiduran.

Chandrika berulangkali memarahi abangnya yang selalu seperti itu disetiap panggilan, bahkan Abangnya bisa tidak mematikan sambungan bila tertidur. Tidak dipikirnya bahwa biaya telepon internasional itu mahal.

"Selalu saja tidur, sudah seharusnya kamu memiliki istri Bang." Gumam pelan Chandrika melihat foto Abangnya saat memakai seragam lengkap.
...

08 Juli 2022

Khitbah dan Siaga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang