Bagian 27

976 72 9
                                    

...
Sudah menjadi rahasia umum kalau seorang tentara mudah sekali tertidur, alasannya karena mereka jarang  memiliki waktu untuk tidur. Dan itu yang selalu terjadi pada Radhika, itu adalah kebiasaannya yang sangat susah dirubah dan itu adalah sikap yang sangat dibenci oleh adiknya.

Terlalu nyaman sendiri membuat Radhika bisa mengurus dirinya dengan sangat baik, terlebih persoalan makanan. Dia lebih suka memasak makanan simple dirumahnya yang sudah jelas kebersihannya. Selalu tersenyum saat disapa bukan sikap Radhika, karena dia adalah tipe pria yang jarang senyum sekalinya senyum bisa bikin diabetes. Itu adalah kalimat dari teman lettingnya dulu saat di Lembah Tidar.

Berulang kali dia dijodohkan oleh teman sejawatnya tapi tidak ada yang cocok, dan anehnya dia tidak pernah merasakan kecocokan dengan perempuan yang berkeyakinan sama dengannya.

"Selamat pagi, izin Komandan?" Suara yang sudah terlalu sering Radhika ucapkan hampir setiap harinya.

"Siap merapat, Komandan." Hanya dua kalimat Radhika menjawab. Dengan cepat bersiap mengganti seragamnya untuk merapat karena ada panggilan.

Satu dua hal yang diucapkan Radhika, membuat atasannya tertawa. Radhika memang salah satu orang yang dekat dengan petinggi di batalyon tersebut.

"Diperintahkan untuk hadir semua, karena malam purna tugas  salah satu Petinggi Angkatan Laut malam nanti." Radhika yang mendengar itu menganggukan kepalanya mengerti. Dia akan mengatakan pada semua anggotanya untuk menghadir undangan tersebut.

Membahas banyak hal dengan Komandan memang menjadi hal yang jarang dilakukan Radhika, kecuali dirinya ada di tempat dan tidak memiliki kesibukan lain. Pembahasan yang selalu dihindari oleh Radhika yaitu persoalan perempuan.

"Bagaimana dengan peendamping? Sudah ada yang cocok?" Radhika hanya tertawa kecil. Sebenarnya doa malas membahas ini tapi apa mau dikata kalau yang membahas atasannya tidak mungkin dia memasang mode tuli kan.

"Belum Komandan, saya juga belum kepikiran." Jawabnya sopan.

"Adikmu itu sudah jarang main ke sini,"

"Dia masih lanjut studi S2 di Inggris, dia aka kejar pendidikannya selama Aku belum menikah. Karena pantang baginya untuk melangkahi Saya Komandan."

"Dan itu akan menjadi beban untukmu, kamu mau yang seperti apa?" Pertanyaan ini sudah berulang kali dipertanyakan

"Mungkin akan lebih baik dia orang yang sudah kenal dekat dengan keluargaku. Terutama Untuk Mami." Jawaban Radhika membuat Komandannya menganggukan kepalanya pelan.

"Kalau saja kamu seorang muslim, mungkin akan mudah mencari pasangan." Radhika membenarkan, karena dia memiliki mantan kekasih yang semuanya adalah seorang muslim. Dan semuanya meninggalkan Dia karena tidak ada yang bisa mengorbankan keyakinannya.
...
Radhika Pov
Aku menatap Mami yang sibuk menyiapkan makanan bersama IRT, ya. Ini adalah hari ulang tahun Mami, malam ini akan diadakan ibadah bersama dirumah ini. Makanya aku pulang sore ini. Dan besok akan kembali ke Satuan.

"Radhika, sudah datang sayang?" Aku menganggukan kepala dan tersenyum pada wanita kesayanganku.

"Apa sudah makan sayang?"

"Sudah Mih, masih ada yang mau dibantu?" Aku menawarkan diri, sedangkan Mami dengan cepat menggelengkan kepala.

"Kamu istirahat sebentar, sebelum acara nanti." Aku menggelengkan kepalaku, melihat Mami yang selalu sibuk saat ada acara dirumah.

"Papih, masih di kantor?"

"Iya, kalau udah ada menantu bagus loh. Mami punya teman ngobrol satu frekuensi." Ujar Mami melirikku sambil tersenyum.

"Hemm.. nanti ya Mih, belum dapet yang cocok."jawabku membuat Mami menghembuskan nafasnya pelan.

"Semuanya gak cocok, dan giliran dapat yang cocok beda sama kamu. Heran Mami," aku tertawa mendengar kalimat Mami. Ya memang yang sebenarnya begitu.

"Coba video call adikmu, dia lagi ngapain disana." Aku dengan cepat melakukan apa yang diminta Mamih. Menunggu jawaban dari sana.

"Halo Selamat pagi, maaf chandrika masih di toilet."kalimat pertama perempuan yang memiliki mata sipit, kulit putih dan rambut yang hitam legam.

"Oh iya, ini dengan siapa?" Aku bertanya dengan datar. Membuat Mami menggelengkan kepalanya melihatku

"Saya teman Chandrika Mas, Syafa." Aku hanya menganggukan kepalaku tanda mengerti.

"Mami mau cerita sama temannya Chan." Aku menyerahkan handphone yang masih terhubung dengan teman perempuan Chandrika

"Sepertinya Mami terlalu bersemangat membahas diriku." Suara yang sudah kukenal diluar kepalaku, Melihat Mami hanya tertawa membuatku menggelengkan kepalaku melihat mereka berbicara dengan ramainya.

Mengabaikan diriku yang menjadi penyimak terbaik, bahkan sesekali kudengar Mami bertanya pada Chandrika tentang Syafa.

"Ini teman chandrika yang selama satu tahun ini menjadi yang terbaik dikelas bahkan dosen selalu memuji keahliannya." Cerita Chandrika membuatku menggelengkan kepala, bukannya semuanya bisa menjadi yang terbaik dengan berusaha? Dasar Chandrika yang malas.

"Mami, Bagaimana dengan Abang? Sudah membawa calon kakak ipar dirumah?"

"Dia belum menemukan yang cocok dengannya. Entah kapan dia bisa menemukan pendamping. Bagaimana kalau Syafa saja?" Kalimat Mami yang sontas membuatku menggelengkan kepal

"Mami--"ucapku yang terpotong dengan kalimat Chandrika.

"Kita berbeda Mami, benteng tinggi itu terlalu sulit untuk dilewati." Chandrika mengatakan dengan nada pelan.

"Jangan bicara sembarangan Mami, udah kayak nggak laku aja Aku." Ucapku kesal membuat Mami tertawa dengan chandrika

"Kalau memang laku, pasti sudah punya istri. Paling tidak pacar lah." Sudahlah, aku harus banyak diam kalau tidak ingin menjadi orang yang dipojokkan.

Ibadah dimulai dengan hikmat dan damai, mendengar para jemaat yang berdo'a membuat Mami menangis terharu.

"Semoga tahun depan, Saya sudah bisa gendong cucu. Entah itu anak Radhika ataupun Chandrika. Do'a saya semoga selalu sehat sampai cucu saya ada." Mami berdo'a dengan suara bergetar, mungkin memang sudah saatnya Aku untuk mencari yang serius.

Kali ini Papi ingin berbincang serius denganku, setelah acara selesai. Dan Mami bergabung dengan kami berdua, sayang sekali perbincangan ini tanpa Chandrika.

"Hari ini memang Ulang Tahun Mami, tapi harapannya semua sama anak-anak Mami. Kamu dan Chandrika, sudah seharusnya untuk menikah." Kalimat Papi yang pertama kali Aku bisa dengar.

"Menikah adalah suatu keharusan dalam agama kita, kalau memang kamu tidak punya pasangan. Bisa Papi bantu carikan,"

"Papi melihat Kamu terlalu sibuk dengan karir, tahun depan sudah 30 loh kamu."Aku menganggukan kepala pelan.

"Pilihanmu, yang seperti apa?"

"Jujur saja Papi, Mami. Selama ini Tidak ada yang pernah dekat dengan Radhika yang sama dengan kita. Selalu beda, dan semuanya Muslim. Tapi tidak ada yang ingin melepaskan keyakinannya begitu pula dengan Radhika sendiri." Melihat diamnya Mami dan Papi membuatku meneruskan kalimat ku

"Seandainya memang bisa, Radhika ingin Chandrika yang menikah terlebih dulu. Dia sudah punya kekasih, sedangkan Radhika belum." Aku mengatakan yang sejujurnya. Memang Chandrika memiliki kekasih yang seorang pilot pesawat plat merah indonesia

"Tapi dia tidak akan melangkahi kamu sebagai Abangnya. Kamu sendir tahu itu." Aku menganggukan kepalaku tanda mengerti.

"Pilihlah, perempuan yang menurutmu terbaik. Entah itu sama atau berbeda dengan kita, Papi dan Mami akan merestui." Kalimat Papi membuatku terdiam. Mami menatapku kemudian menganggukan kepalanya pelan.

Pilihan yang sulit dan pastinya akan membuatku menjadi beban pikiran. Ya, karena mereka tahu, Aku tidak pernah main-main dengan perempuan walaupun berbeda denganku.
.....

11 Juli 2022

Khitbah dan Siaga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang