Selamat membaca
..."Kita masih bisa bertemu satu sama lain, tapi hanya dalam ikatan dinas. Kita memulainya dengan baik-baik, maka kita harus mengakhirinya dengan baik-baik juga.--" Ucap Syafa yang terpotong dengan kalimat datar Ibram
"Tidak ada perpisahan yang baik-baik saja, Saya pikir kamu juga paham dengan itu. Ohiya saya tidak akan pernah melepaskan kamu, karena keputusan ini tidak ada persetujuan Saya. Kamu masih tetap calon istri Saya." Ucap Ibram dengan wajah datar dan cara bicara formal yang dipakai Ibram membuat Syafa diam tidak berkutik.
Ibram meninggalkan Syafa sendirian malam pengembalian cincin tunangan yang dipakai Syafa. Tanpa ada kata perpisahan yang bisa terucap dari bibir keduanya, Syafa yang ingin mengatakan salam perpisahan sedangkan Ibram yang masih tidak terima dengan perpisahan itu.
Merasa dicampakan setelah sekian lama kenal, Ibram selalu bertanya pada dirinya sendiri. Apa kekurangan Syafa sebagai calon istri? Apa yang membuat Ibunya bisa mengalihkan pandangannya dari Syafa? Apa sebegitu sibuknya Syafa sampai Ibunya takut kalau Syafa tidak bisa mengurusnya dengan baik? Entahlah. Pertanyaan itu semua hanya tersimpan dalam otak Ibram, berat untuk diungkapkan kepada Ibunya.
Bandara menjadi tempat perpisahan antara Syafa dan orangtuanya serta Satu orang yang berdiri tidak jauh dari tempat berdirinya Aldzi. Ibram berdiri menatap Syafa lurus.
Selama dua bulan tanpa komunikasi, dan selama dua bulan juga Syafa menyiapkan segala kepindahannya ke Makassar. Tanah leluhur Ayahnya.
Ibram mendapatkan kabar dari Dea kalau Syafa hari ini akan meninggalkan Jawa, kehadirannya di Bandara membuat semua orang kaget. Karena tidak ada satu orangpun yang memberikan informasi pada Ibram, tapi semua itu Syafa acuhkan. Karena dia sudah menganggap Ibram bukan seperti dulu lagi.
"Hati-hati disana Dek, Saya akan tunggu kamu kembali ke Jawa. Selamat menjalankan tugas yang baru." Ucap Ibram dihadapan Syafa dengan wajah lurus tidak ada senyuman atau wajah sedih.
"Terima kasih Abang Asuh," ucap Syafa dengan memberikan tanda hormat pada Ibram. Jauh dari lubuk hatinya, Syafa menahan tangis yang sedari tadi dilihatnya Ibram hadir di Bandara.
Syafa memandang Orangtuanya yang hanya memasang senyum palsu, untuk pertama kalinya Syafa pergi ke Makassar untuk waktu yang lama tanpa keluarganya.
Berjalan tanpa berbalik hanya untuk memandang orang-orang yang mengantarnya, Syafa bisa mendengar tangisan pilu Bundanya yang hanya ditenangkan oleh Ayahnya.
"Dia anak perempuan, Mas.. kenapa harus daerah terpencil? Hiks hikss.." samar suara ibunya terdengar.
Tidak ada sapaan Ibram untuk orangtua Syafa, begitupun sebaliknya. Karena Ibram merasa sangat tidak enak dengan perlakuan Ibunya terhadap keluarga Syafa.
Dalam pesawat, Syafa terus memandang kearah jendela. Sebab pesawat yang sudah lepas landas membuat Syafa mengusap airmata yang sudah ditahannya sejak tadi. Dia memang tidak menangis didepan orangtuanya, apalagi dihadapan Ibram.
Drttt
Dek, Aku kembali ke SBY. Aku masih berharap kalau kita berdua akan kembali seperti dulu lagi. menikah, memiliki anak, menjadi orangtua, dan menua bersama. Seperti janji kita berdua dulu. Ini hanya karena waktu, bukan karena takdir. Karena kamu adalah jodoh ku.Selamat menjalankan tugas ditempat yang baru, sampai jumpa di waktu terbaik Tuhan.
Pesan yang dikirimkan Ibram dibaca oleh Syafa dengan linangan airmata, untuk pertama kali Ibram mengirimkan pesan setelah dua bulan tanpa komunikasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khitbah dan Siaga (END)
General FictionSequel He Is Marinir (spesial Anak sulung Aldzi dan Izza) Serial Syafa Syailendra 🤗 ... "Laki-laki terlalu segan denganmu Kak, cobalah untuk merendah. Segigih apapun Kakak meraih gelar dan pangkat, Kakak perempuan dan perempuan itu sebagai Makmum d...