Bagian 17

785 63 4
                                    

Update lagi nih, semoga sukak ☺

Selamat membaca 🧡
....
Pernahkah kalian dihampiri rasa bosan dengan kegiatan kalian? Atau dengan orang-orang di dekat kalian? Pastinya pernah. Apalagi merasa jenuh dengan suatu keadaan yang terlalu monoton. Tapi bukan berarti rasa bosan adalah akhir dari suatu kedekatan.

Syafa pernah mendengar kalau menjalin hubungan dengan seseorang pernah di rasakan perasaan bosan, dan itu memang fakta yang sudah dibuktikan oleh Syafa sendiri. memang bukan Ibram yang bosan dengan hubungan mereka, tapi Ibu Ibram yang sudah bosan dengan status tunangan yang belum berubah menjadi pasangan suami istri.

Syafa mendengar percakapan Ibram saat pulang, percakapan yang bisa di tebak dari bahasa Ibu Ibram yang seakan malas saat Ibram menyebut nama Syafa.

“Lagi sama Syafa, di Malang.” Helaan nafas jengah di seberang bisa Syafa dengar, karena Syafa yang memegang handphone. “Ada apa?”

“Oh lagi sama dia, yaudah nanti biar Ibu telpon lagi.” Sambungan telepon lansung dimatikan, membuat Ibram mengernyit. Syafa hanya diam dan memposisikan duduknya agar nyaman kembali. Tidak bertanya kenapa dengan respon calon mertuanya, atau ada apa dengan dirinya kalau bersama Ibram.

Hening menemani perjalanan mereka menuju tempat tinggal Syafa, Ibram berulang kali melirik Syafa yang hanya diam dan memandang jalan yang sudah mulai gelap.

“Terima kasih. Nanti kasih tahu Aku kalau memang Ibu udah nggak suka dengan Aku.” Pesan Syafa sebelum turun dari mobil Ibram yang tidak dijawab “Assalamu’alaikum.”

Ibram tahu dengan perasaan Syafa yang sudah tidak enak dengan perlakuan Ibunya. Apalagi bahasa Ibunya sudah terlalu jelas kalau beliau tidak suka dengan kehadiran Syafa. 

semuanya sangat jelas, dan itu diketahui oleh Syafa kalau Ibu Ibram mulai tidak suka dengan kehadirannya atau mungkin dengan statusnya yang sebagai tunangan Ibram.

Syafa sudah merencanakan satu hal, yang tidak diketahui oleh Ibram. cepat Syafa menghubungi nomor calon ibu mertuanya, menunggu dengan jantung yang berdebar.

“Halo?” Suara seseorang membuat Syafa terkesiap dan berdehem

“Assalamu’alaikum Bu, ini dengan Syafa..” Ucap Syafa pelan.

“Ohiya, ada apa?” Syafa bisa mendengar suara calon mertuanya yang terdengar malas.

“Mm, Ibu bagaimana kabarnya? Sehat?” Syafa berusaha menguatkan hatinya untuk berbicara dengan suara yang lembut.

“Sehat, Alhamdulillah.” Syafa menganggukan kepalanya.

“Syafa mau tanya sedikit sama Ibu, boleh?” tidak ada jawaban, yang membuat Syafa melanjutkan kembali pertanyaannya “Apa Ibu sudah memiliki pilihan lain untuk Bang Ibram?” Suara Syafa sedikit bergetar. Lama menunggu jawaban dari Ibu Ibram

“Memangnya kamu sendiri udah nggak mau jadi istri Ibram?” itu bukanlah jawaban, melainkan Pertanyaan. Syafa refleks menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan beliau

“Bukan begitu Bu, tapi Syafa—“

“Oh Saya tahu, kamu udah nggak suka dengan Ibram? yaudah. Tinggal nanti atur gimana baiknya, biar nggak ada salahpaham ya.” Suara yang tersirat dengan emosi membuat Syafa menangis tanpa suara.

“Ibu..”

Tuutt.. Tutt..

Sambungan telepon yang terputus membuat Syafa menangis, niatnya ingin bertanya baik-baik tapi lansung ditanggapi emosi oleh Ibu Ibram. menangis dalam diam menjadi satu-satunya cara Syafa menyembunyikan masalah yang dihadapinya dari orang-orang rumah. Mungkin besok pagi akan menjadi pertanyaan besar rekan kerjanya dengan mata yang bengkak karena menangis.

Syafa terlelap dengan airmata yang terus mengalir di pipi putihnya, tidak memikirkan efek samping yang akan dirasakannya besok pagi akibat menagis semalaman.
...

Syafa duduk berhadapan dengan Ibram disebuah caffe yang menjadi tempat favorit mereka berdua, melihat Ibram masih diam setelah 20 menit berlalu mereka berdua sampai.

“Kamu di mutasi ke Makassar?” Tanya Ibram pada akhirnya. Pesan singkat yang dikirimkan Syafa siang itu membuat Ibram meminta bertemu untuk mempertanyakan maksud dari pesan itu.

“Iya Bang, Maaf mungkin akan lama disana.” Jawaban Syafa pelan yang membuat Ibram memalingkan wajahnya kearah lain dan menghembuskan nafasnya kasar.

“Terus pernikahan kita,”

“Aku serahkan semuanya sama Bang Ibram, kalau memang Bang Ibram ingin selesaikan tidak ada masalah.” Jawaban Syafa cepat memotong kalimat Ibram. kali ini tidak ada suara bergetar atau mata yang berkaca-kaca. Syafa terlihat sangat siap dengan semua ini.

“Nggak bisa sama-sama?” Syafa tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya.

“Restu Ibu sudah tidak bersama dengan Syafa, Bang.. beliau lebih suka memiliki menantu yang pengertian dan selalu ada. Dan itu bukan Syafa.” Ibram memejamkan matanya saat mendengar ucapan Syafa yang membuatnya sakit kepala.

“Bulan depan Aku akan ke Makassar Bang, mungkin kita akan bertemu kembali sebagai rekan kerja bukan calon suami istri. Untuk itu Bang, cincin tunangan kita—“ Ucap Syafa terhenti saat melihat Ibram berdiri dari kursi dan melangkah keluar dari caffe dengan amarah yang tidak bisa disembunyikan.

“Bang Ibram.. Bang..” Panggilan Syafa tidak dihiraukan oleh Ibram. Syafa menghela nafas kemudian memejamkan matanya bersamaan dengan airmata yang mengalir tanpa bisa di tahannya. Hilang sudah sikap tegar dan kuat Syafa yang disembunyikan sedari tadi.

Beberapa jam sebelum pertemuan mereka, Syafa sudah terlebih dulu bertemu dengan Ibu Ibram yang hari itu ingin bertemu dengan Syafa secara lansung.

“Ibu apa kabar?” Sapa Syafa setelah duduk dihadapan Ibu Ibram.

“Baik, jadi bagaimana?” Pertanyaan to the point yang membuat Syafa terdiam sesaat sebelum memasang senyum manis pada calon mertuanya, ah mungkin akan menjadi mantan calon mertua.

“Apa Ibu sudah punya pilihan lain?”

“Kamu ingin saya jujur?”

“Iya bu, biar Syafa tahu harus bagaimana.”

“Kalau untuk pilihan saya sendiri belum punya, tapi saya ingin yang pasti. Bukan yang selalu menunda-nunda niat baik anak saya...” Syafa menganggukan kepalanya pelan mendengar penuturan Wanita didepannya.

“Semuanya tahu, kalau kalian sudah saling kenal sejak lama. Tapi kenapa kamu selalu menundanya Syafa?”

“Bukan menunda Bu, tapi Saya masih banyak kesibukan. Apalagi sekarang bang Ibram baru saja menjabat sebagai Kapolsek,--“

“Syafa, kalaupun memang kamu ingin mendampingi Ibram. kamu tidak akan membuat Ibram menunggu kamu selama ini, kamu ragu dengan Ibram?” Syafa menggelengkan kepalanya

“Tidak ada rasa ragu dalam diri Syafa terhadap Bang Ibram. Syafa hanya ingin mewujudkan mimpi terakhir Syafa ingin menjadi Kasatlantas Bu.”

“Kamu mau meneruskan hubungan dengan anak saya tanpa restu dan ridho saya atau melepaskan Ibram untuk perempuan yang siap mendampingi dia dengan tulus.” Kalimat ultimatum menjadi penutup pembicaraan diantar mereka, dan Syafa melihat cincin yang dipakaikan wanita didepannya beberapa waktu lalu dengan senyum bahagia tapi sekarang semuanya berubah hanya karena waktu.

“Saya akan melepaskan Bang Ibram untuk perempuan lain, Bu..” Suara Syafa bergetar. Sekuat tenaga Syafa menahan airmatanya untuk tidak terisak didepan Wanita yang berjasa dalam hidup Ibram.

“Saya ingin kamu minta mutasi yang jauh, dan itu menjadi alasan kamu untuk pisah dengan Ibram.” Syafa menganggukan kepalanya membuat helaan nafas lega terdengar dari Ibu Ibram disertai senyum bahagia.

“Terima kasih untuk segalanya Bu, maaf belum bisa menjadi pendamping Bang Ibram.” Ucap Syafa terakhir sebelum Ibu Ibram meninggalkan meja. Tanpa pelukan perpisahan ataupun kalimat perpisahan. Calon mertuanya pergi dengan senyum bahagia. Ralat, Mantan calon Mertua.

***
Bersambung ...

Jangan lupa untuk vote dan komentar 🤗

Khitbah dan Siaga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang