Bagian 20

873 52 4
                                    

...
Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya Ibram menghubungi Syafa kembali, menunggu panggilannya diangkat membuat Ibram merasa gugup.

"Hallo Assalamu'alaikum," suara diseberang membuat Ibram berdiri dari ranjang. "Halo?"

"Wa'alaikum salam ini Bang Ibram, dek." Suara Ibram pelan membuat Syafa di tempat yang jauh terdiam.

"Apa kabar dek? Lama ya nggak komunikasi." Suara Ibram masih terdengar sama seperti terakhir kali mereka bertemu di Bandara.

"Siap, kabar saya baik. Izin," balasan Syafa membuat Ibram tertawa miris. Perbedaan gaya bahasa diantara mereka berdua jauh.

"Bang Ibram telfon, bukan sebagai senior. Tapi calon suami kamu dek," Ibram mengucap dengan kalimat akhir yang penuh penekanan.

"Izin Ba--" kalimat Syafa terpotong saat Ibram menyela

"Dengar Dek, kamu yang memilih mundur dan itu tidak ada persetujuanku. Udah Aku bilang sama kamu, Aku yang akan berjuang kalau masalahnya sama Ibu. Tapi kenapa kamu nggak paham--"

"Aku paham Bang, sangat paham dengan keadaan kita berdua. Kita sudah tunangan sekian tahun, Aku paham betul dengan keinginan Ibu. Dia hanya ingin lihat Bang Ibram punya istri, karena rekan Bang Ibram semuanya sudah memiliki istri bahkan dua anak. Tapi Bang Ibram--"

"Menikah bukan ajang perlombaan. Rekan lettingku yang sudah menikah dan punya anak berarti mereka itu udah mampu dari segi materi, mental. Menikah juga ibadah terpanjang, makanya nggak boleh buru-buru. Aku belum menikah ya berarti aku masih mempersiapkan segalanya."

Perdebatan keduanya kembali terulang, syafa diam begitu pula Ibram. Mereka sangat paham dan sudah berulang kali keduanya saling menjelaskan satu sama lain.

"Bang--"

"Dek, kali ini Aku mohon untuk dengerin Aku. Kita berpisah bukan karena kita udah nggak ada perasaan tapi karena keadaan. Kali ini, Aku akan ikutin apa maunya Ibu. Aku akan ketemu dengan perempuan pilihan Ibu, tapi untuk menikah itu tidak mungkin."

"Kenapa tidak mungkin? Cinta hadir karena terbiasa Bang.."

"Dan Aku terbiasa hanya dengan kamu. Menikah itu 70% itu aktivitasnya cerita. Cerita tentang keuangan keluarga, cerita tentang pendidikan anak, masa depan anak dan yang lainnya. Kalau kita menikah dengan orang yang salah dan nggak bisa untuk diajak cerita masalah-masalah itu. Percuma dek." Ujar Ibram panjang yang membuat Syafa terdiam.

Lama mereka terdiam satu sama lain, hanya sekedar mendengar helaan nafas masing-masing dari telepon. Ibram bisa mendengar kalau Syafa terisak pelan diseberang sana, dia pun sama. Sedih dengan keadaan mereka berdua.

"Besok aku akan ketemu dengan calon pilihan Ibu, dan mulai malam ini. Segala aktivitasku akan Aku cerita sama kamu tanpa terkecuali. Kalau kamu lupa jalan pulang ke Jawa, Aku akan jemput kamu dek. Assalamu'alaikum."

Telepon terputus setelah Ibram mengucapkan salam, malam ini Syafa membayangkan semuanya tidak sesuai dengan rencananya. Ibram masih tetap berpegang teguh pada ucapannya.

"Kenapa kamu sangat keras kepala Bang?"  Syafa bisa melihat Ibram yang tersenyum pada foto yang selalu dibawa kemanapun. Ibram yang tersenyum saat bersama dengannya, foto yang berisi kenangan saat Ibram pulang dari penugasan.
...
Setelah menghubungi Syafa, dan mengatakan semuanya. Ibram turun untuk bertemu dengan Ibunya yang duduk diruang keluarga dengan Ayahnya.

"Ibu," suara Ibram membuat Aini lansung menatap Ibram. "Ibram akan mengikuti permintaan Ibu. Dan Syaratnya akan Ibram penuhi, tapi Ibram juga punya permintaan,"

Khitbah dan Siaga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang