PROLOG

738 21 3
                                    

Menjelang pukul enam sore.

Lava, gadis pemilik rambut lurus yang jatuh sebahu itu menjadi satu-satunya siswi tidak berkepentingan yang masih bertahan di sekolah setelah sekelompok siswa kelas 12 yang sejak tadi diskusi di sudut perpustakaan meninggalkan tempatnya dua puluh menit yang lalu. Dengan berat hati, mau tak mau Lava memutuskan mengemasi alat tulisnya yang berceceran. Bukan hanya karena sudah ditegur oleh petugas keamanan sekolah yang bilang bahwa perpustakaan harus segera dikunci, tapi Lava juga sudah tidak mempunyai alasan untuk berada di sini lebih lama lagi.

Papa: Lav, papa g jdi jmput, ngnter kk km k bogor. Km plng sm satria aj.

Lava: Ya ampun papa, ini udah jam berapa??? Kenapa baru ngabarin sekarang?

Papa: lupa.

Dengan cepat Lava menghapus bubble chat yang terpampang di layar ponselnya itu dan membiarkan room chat milik Papa kembali kosong seperti semula. Setelah harapannya sirna begitu saja, Lava tidak mau dirinya benar-benar tercabik tanpa sisa apabila terus menerus menatap chat dari Papa. Walau pada akhirnya, tetap saja Lava merasa getir karena penantiannya selama tiga jam berakhir sia-sia. Sebenarnya dia masih ingin protes, tapi balasan papa nanti pasti akan membuatnya semakin terluka.

Lava tahu dia sudah berusia 17 tahun sekarang. Harusnya gagal dijemput oleh papa diusia segini bukanlah hal yang harus diratapi. Toh banyak remaja seusianya yang justru lebih senang apabila dibiarkan pulang sendiri –dan dalam kasus paling buruk, ada seorang remaja yang sengaja sembunyi dari ayahnya yang sudah menunggu demi bisa pulang bersama teman-temannya. Tapi bagi Lava yang sejak kecil sudah dipaksa untuk apa-apa dilakukan sendiri, dijanjikan akan dijemput saja sudah membuatnya bahagia setengah mampus. Seketika Lava mencoba mengingat kapan terakhir kali papa menjemputnya ke sekolah. Entah saat kelas 3 atau kelas 4 sd dulu. Saking lamanya, Lava sampai tidak bisa mengingatnya. Tapi yang terpatri jelas dalam ingatannya adalah, sejak papa berhenti menjemput Lava, anak itu dibawa pulang oleh sepeda berwarna merah jambu milik Satria.

Tapi kali ini Lava juga tidak pulang bersama laki-laki yang berstatus sebagai kakak kelas sekaligus tetangga beda blok komplek rumah dengannya itu. Bukan hanya karena Satria sudah berhenti menggunakan sepeda merah jambu –sebab mereka sudah besar dan Satria menggunakan motor atau mobil sekarang-, tapi juga karena Satria sudah pulang duluan berjam-jam yang lalu. Tentu saja setelah Lava menolak mentah-mentah ajakan pulang bareng dari Satria dan dengan sombongnya dia pamer bahwa akan dijemput oleh papa, yang membuat laki-laki itu mendelik julid dan mencibirnya habis-habisan. Sekarang apabila tiba-tiba Lava menghubungi Satria dan minta dijemput, coba pikirkan, di mana dia harus menaruh mukanya?

Langkah gontai gadis itu berhenti di depan gerbang sekolahnya yang menjulang. Dia menghembuskan napas pelan, menyadari bahwa parkiran yang sempat dilewatinya barusan sudah hampir sepi yang artinya hanya ada beberapa manusia saja di dalam sekolah. Lava jadi berpikir, apakah dia terlalu bahagia tadi sampai-sampai tenggelam dalam ilusinya sendiri? Yang pada akhirnya Lava tersadar bahwa sekarang yang tersisa hanyalah dirinya dan rasa sepi. Jalan di depannya memang cukup ramai, tapi bukan itu yang dia inginkan.

Lava jadi sibuk sendiri, menimang-nimang haruskah dirinya berjalan menuju halte untuk menunggu bus atau diam di depan sekolah saja menunggu angkot yang lewat. Tapi saat sadar hari sudah hampir berganti malam dan dia tahu tidak akan ada angkutan umum yang lewat pada jam segini, Lava berakhir mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang supaya bisa datang menjemputnya.

Seseorang dengan kontak berbintang kedua paling atas, kontak yang paling sering dia hubungi setelah Satria.

Panggilan pertama, tidak ada jawaban.

Panggilan kedua, hanya suara operator diikuti tut tut panjang yang terdengar.

Masih mengenal apa itu sopan santun, saat panggilan ketiga kembali tidak mendapat jawaban, Lava memutuskan untuk berhenti. Dia memang bukan jenis orang yang suka melakukan spam (sebenarnya ada beberapa orang yang dikecualikan, khususnya Satria). Sekalipun yang sedang dia dihubungi saat ini adalah Dimasta, pacarnya sendiri.

Masih mempunyai banyak stok kesabaran dan tidak mau menyerah duluan, Lava berakhir mengganti tujuan. Kali ini dia membuka kontak berbintang ketiga paling atas. Dan dengan penuh keajaiban, panggilan pertama langsung terhubung begitu saja.

"Sayaaang." Lava memulai panggilan dengan rengekan manja tanpa dibuat-buat.

"Hm?" Lalu gumam serak seorang laki-laki terdengar, diiringi dengan suara super riuh dari sebrang telfon.

"Yang, jemput dong. Aku masih di sekolah nih, gak ada angkot."

"Lah? Gue kan lagi otw Bandung, Lav. Perasaan kemarin gue udah bilang deh."

"Anjir??!" Lava refleks mengumpat. "Lah kan katanya berangkatnya sore? Kok udah otw aja?"

"Ya ini aja udah mau magrib kali Lav, gimana sih lo?"

"Yah, terus sekarang gue pulang sama siapa dong?"

"Satria kan ada. Babuin aja. Tu anak kan lebih patuh sama lo daripada bundanya sendiri."

"Ih gak bisa. Satria udah gue usir duluan."

"Ck. Lagian lo ngapain sih jam segini masih di sekolah? Kelas tambahan? Perasaan lo masih kelas sebelas deh."

"Om lu tuh, janji mau jemput."

"Terus lo nungguin? Gitu?"

"Ya iya lah gue tungguin. Tadinya gue mikir, kapan lagi sih gue dijemput papa? Kesempatan emas tau. Eh taunya...,"

"Lavanya, please deh, don't be stupid. Harusnya lo tahu, gak ada yang bisa lo harepin dari bokap lo."

"Gue cuma berharap, Kares, apa salahnya?"

"Ya salah, lah. Sekarang buktinya apa? Lo sendiri kan yang rugi?"

"Lo kalo gak bisa bantu gue, seenggaknya jangan bikin gue makin down."

"Gue cuma gak mau lo terus menerus merasa sakit karena luka yang sama. Salah?"

"Tau ah. Emang dasar gak guna ya lo tuh."

Tanpa menunggu Rezvan kembali bersuara, Lava lebih dulu menutup panggilan. Lava tidak benar-benar kesal pada Rezvan. Hanya saja apa yang dikatakan oleh sepupunya itu adalah kebenaran. Lava sudah cukup lelah sekarang.

Seirama dengan lampu kota yang dinyalakan, hembusan nafas panjang yang keluar dari hidung Lava menjadi penutup ratapannya pada sore menjelang magrib hari itu. Pada akhirnya dia harus kembali menabahkan diri. Dia harus sadar bahwa bumi berputar bukan untuk dirinya.


















Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lava dan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang