014. Arabella

137 11 0
                                    

Gerimis tipis menjatuhi bumi Jakarta hampir sejak 15 menit yang lalu. Hari ini Lava pulang agak terlambat karena harus mengikuti pertemuan dengan club olimpiade. Berbeda dengan teman-temannya yang langsung pamit setelah pertemuan dibubarkan, Lava justru menarik langkah menjauh dari ruang olimpiade yang terletak dekat perpustakaan. Terlalu malas untuk melewati lapangan, Lava memilih melewati koridor kelas 12 sendirian. Dia sama sekali tidak peduli pada para kakak kelas yang menatapnya heran karena berjalan sendirian, walau masih sempat tersenyum dan membalas sapaan dari orang-orang yang menyapa nya. Di ujung koridor dia menuruni tangga, kemudian berbelok menuju belakang kantin.

Lava sempat melewati pilar, berniat menyembunyikan tubuh tipisnya di sana. Ia bersandar di dinding, memandangi rintikan gerimis yang mulai berubah menjadi hujan seutuhnya. Angin berhembus lebih kencang, membuat Lava memasukkan tangannya je saku jas almamater, merasa kedinginan. Dia turut menyandarkan kepalanya di sudut antara pilar dan dinding, kemudian menarik napas panjang.

"Ck. Kok gue jadi terkesan kayak tokoh cewek yang nasibnya malang, ya?" Gerutu Lava pada diri sendiri. Tapi setelahnya, hening. Tidak ada suara apapun lagi selain bunyi air yang bersentuhan dengan benda apapun yang ia jatuhi.

Dalam keheningan itu, Lava tidak tahu harus memikirkan apa. Suasananya terlalu menenangkan apabila Lava harus memikirkan masalah-masalah hidupnya. Lava membiarkan Kepalanya terlanjur kosong, berkelana jauh entah ke mana. Menuju ke tempat-tempat yang hanya sebuah ketidakmungkinan. Dalam khayalannya, Lava menikmati itu.

Sampai sebuah suara tiba-tiba terdengar membuatnya terkejut. Lava mengernyit melihat bayangan seseorang di balik pilar. Dengan hati-hati dia mengintip, kemudian tersentak melihat Satria melangkah cepat di sana, kemudian bersandar di sisi lain pilar.

"Sumpah, ya, Lav, lo ketemu manusia modelan si Arabella di mana sih? Demi apa dia berisik banget anjir," omel Satria begitu saja, membuat Lava mengerjap-ngerjap.

Sadar Lava tidak merespon, Satria jadi mendecak. Lalu saat dirinya menoleh ke balik pilar, ia menghela napas melihat Lava menatapnya lekat dengan sebuah senyum tertahan. Satria membalas tatapan Lava, membuatnya menelan saliva saat mata mereka bertemu.

"Lo...," kata Lava masih dengan wajah berserinya. "..., udah gak marah sama gue, kan?" Tanya gadis itu ingin memastikan.

Sekali lagi Satria menghela napas. Dia mengetuk kening Lava pelan, kemudian menyebrangi pilar dan melewati tubuh Lava begitu saja untuk berdiri di samping gadis itu mengapitnya.

"Gak usah ikut campur dulu sama urusan Lava."

"Tapi kalo entar Lava tahu, gimana?"

"Gue percaya Lava anak baik. Dia sayang sama Dimas, dia juga sayang sama Sherly. Lava gak bakal bikin onar, percaya deh sama gue."

"Gak bisa lah, Res. Masa Lava lagi yang harus ngalah?"

"Ya terus lo berharap apa? Sherly gitu yang ngalah sama Lava? Bisa aja sih sebenernya, tapi emak bapaknya gak bakal diem aja. Ujungnya apa? Mereka sama-sama terluka."

"Jahat banget sih lo!"

"Terus lo mau ngapain? Lo bisa apa? Heh, inget, kalo dibandingin Dimas, derajat lo di mata Lava gak lebih dari Boo."

Jika dipikir-pikir, perbincangan antara Satria dan Rezvan tempo hari ada benarnya. Satria tidak bisa melakukan apapun. Karena apapun yang terjadi berikutnya pasti akan berakhir dengan luka. Entah Satria berhasil membuat Lava putus dengan Dimas atau menunggu Lava tahu sendiri kelakuan Dimas, akhirnya Lava pasti akan terluka.

Satria mengangkat tangannya, hanya untuk menepuk puncak kepala Lava. "Hm, gue minta maaf," kata Satria sungguh-sungguh. Dia betulan merasa bersalah karena sudah membentak dan memaksa Lava saat itu. Belum lagi dia juga mendiamkan Lava untuk waktu yang cukup lama.

Lava dan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang