Lava menenteng buku tebal yang masih berbungkus plastik bening, berdiri di depan etalasi berisi aneka pulpen dan alat tulis berwarna lainnya. Dia mulai memilih di sana. Sampai gadis itu mendecak geram merasa jengah karena sejak tadi Satria mengomel misuh-misuh mengajaknya pulang.
Sumpah, ya. Satria punya apa sih di rumah?
"Lo janji mau beliin gue novel!" Peringat Satria saat Lava sudah mengambil sebuah pulpen berwarna, nampaknya sudah selesai memilih dan dia akan membayar.
Lava menarik napas panjang berusaha sabar. Satria ini walau keliatannya cowok banget yang serba bisa dan kadang galak kadang pedas, tapi mempunyai satu hobi yang mungkin bisa membuat sebagian anak perempuan melting dan sebagian lainnya merasa jijik; membaca novel dengan genre teenlint. Sebenarnya itu bukan hal aneh sih. Satria bukan satu-satunya cowok yang suka novel fiksi di dunia ini.
Sesaat Lava melirik Satria dan menatapnya julid. Tadi di mobil Lava memang berjanji akan membelikan novel baru untuk Satria, sebagai iming-iming agar Satria berhenti mengomel sebenarnya. Lava kira Satria bisa dengan mudah dia bodohi dan melupakan kalimatnya. Namun nyatanya cowok itu masih saja ingat dan tidak ada henti-hentinya menagih. Kalo aja tahu hari ini Satria kalah taruhan nilai sama temen kelasnya, mending Lava naik ojek online saja tadi.
FYI, kalah tidak ada dalam kamus hidup Satria dan ketika dia mendapat kekalahan maka mood cowok itu bisa berubah dengan sangat cepat seperti ayunan TK. Dan sebaik apapun Satria pada Lava, tetap saja di saat-saat begini biasanya Lava akan selalu menghindari Satria dan memilih untuk pura-pura tidak kenal saja. Seandainya Lava tahu.
Mau tidak mau Lava jadi berbelok di rak tinggi toko buku menuju ke tempat novel. Padahal sejak awal dia sudah menahan diri supaya tidak ke tempat itu dan berakhir kalap sendiri. Tapi karena Satria -dan mood menyebalkannya- yang terus saja mengoceh meminta dibelikan novel terbaru dari penulis favoritnya, mau tidak mau Lava harus menguras isi dompetnya.
"Kenapa muka lo? Gak ikhlas?" Cibir Satria menemukan Lava terus saja cemberut.
"Iya. Puas lo!?" Jawab yang perempuan tidak santai.
"Gue cuma minta beliin buku novel, bukan buku nikah. Lagian beli novel satu doang kagak bakal bikin lo jadi miskin."
"Bacot lu."
"Novel gue juga banyak yang masih belum lo balikin ya kalo lo lupa. Lo cuma beliin gue satu novel njir perhitungan amat."
Lava hanya balas mencibir, meledek dengan menggerak-gerakan bibir berlebihan.
Saat hendak mulai menyusuri rak berisi novel fiksi, Lava tersentak sendiri melihat sosok jangkung yang sangat dikenalnya berada di sana. Sedang menunduk membaca blurb pada bagian belakang buku yang dipegangnya.
Aish, tampan sekali.
"Kak Dimas?"
Satria yang mengekori Lava jadi terlonjak mendengar suara gadis ini. Dia jadi maju ke samping Lava, melongok di balik rak kemudian menegak karena Dimas -lengkap dengan wajah terkejutnya- malah membalas tatapannya. Keduanya sama-sama menoleh kecil menatap Lava, kemudian jadi saling pandang dengan pikiran masing-masing.
"Kak Dimas kok ada di sini?" Tanya Lava membuat Dimas dan Satria mengerjap kompak.
"A? Ohhhh..., aku ada perlu," jawab Dimas agak linglung. Sesaat dia mengintip ke rak di ujung kemudian berdeham berusaha menenangkan diri dan kembali menatap Lava yang menatapnya minta penjelasan.
"Kak Dimas kan ada janji buat temenin aku ke sini. Kenapa gak bareng aja?"
Walau emosinya sedang tidak stabil tapi Satria memilih berbalik dan pura-pura membaca salah satu buku daripada canggung berada di antara Dimas dan Lava yang nampaknua siap perang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Luka
Novela JuvenilLava sadar bahwa dirinya selalu dinomorduakan. Tapi dia memilih menjalani hidup dengan bahagia daripada meratapi kesedihannya. Walaupun orang tuanya tidak pernah menganggapnya ada, toh Lava masih mempunyai saudara yang selalu ada untuknya, pacar yan...