Di luar cuaca cerah. Matahari mengintip diam-diam di antara awan putih yang sedang arak-arakan di hamparan langit biru. Sejak berjam-jam yang lalu gorden dibiarkan terbuka, sengaja membiarkan cahaya menelusup memasuki kamarnya dengan leluasa. Menyisakan kehangatan yang luar biasa dan bayangan indah di lantai dari kayu-kayu yang membingkai jendela. Sejak Lava selesai bersiap 30 menit yang lalu, dirinya masih tak kunjung beranjak untuk memenuhi ajakan Dimas yang mengajaknya pergi ke restoran khas Korea dekat sekolah Lava yang baru launching beberapa minggu lalu. Sebab dia memang masih mempunyai banyak waktu sebelum janji temu itu.
Sampai menit-menit berikutnya Lava masih berdiri di sana. Dia memandangi refleksi dirinya dengan lekat. Mulai dari rambut sebahunya yang sudah mulai panjang sampai menjuntai ke otot atas. Kaos crop putih yang membentuk tubuhnya dan kemeja coklat kotak-kotak yang dia jadikan outwear. Jeans high‐waist dan sepatu yang belum dia pakai. Lalu saat ia menatap matanya, ia tersenyum begitu saja. Memang bukan sebuah senyuman lebar tanda bahagia, melainkan senyum tipis namun begitu tulus.
"Lo sempurna." Begitu saja, Lava berbicara pada refleksinya. "Lo itu lebih dari sempurna, Lava. Lo adalah sebaik-baiknya perempuan versi diri lo. Lo gak boleh mikir kenapa Papa Mama gak care sama lo. Tapi lo harus inget, lo punya banyak hal lain yang sama baiknya dengan mereka. Lo cukup, Lava. Lo gak kekurangan apapun."
Siang itu Satria sudah masuk SMP, jadi Lava harus berjalan sendirian ke halte bus untuk menunggunya pulang bersama di sana daripada panas-panasan di depan gerbang sekolah. Halte cukup ramai saat itu. Oleh anak berseragam putih-biru dan putih-abu, remaja yang membawa buku tebal di tangan mereka, orang dewasa berpakaian hitam putih dan membawa map, ibu yang menggandeng tangan mungil anaknya, bapak-bapak yang nampaknya sudah pulang kerja, juga sahutan ramai kendaraan di jalanan depan sana. Tapi satu-satunya yang menjadi fokus Lava adalah seorang anak kecil berseragam merah-putih sama sepertinya -yang jika Lava tidak salah ingat itu adalah adik kelasnya yang tadi pagi dikabarkan membawa piala kemenangan lomba cerdas cermat tingkat SD tingkat kabupaten- dan seorang remaja berseragam putih-abu yang nampak seperti kakaknya, terlihat dari garis wajah mereka yang hampir serupa. Mereka duduk berdampingan, tepat di samping Lava.
"Dih, Abang kayak perempuan bawa-bawa cermin," cibir yang lebih muda, membuat kakaknya tergelak.
"Heh, emang kamu pikir cuma perempuan yang boleh bawa-bawa cermin?" Kali ini yang lebih tua menjawab. Kemudian dia mengarahkan cermin kecil yang dipegangnya itu ke wajah adiknya, menampilkan refleksi di sana.
"Nis, Abang tau pasti sebelum ini kamu ketakutan. Kamu hebat, Nis, kamu udah berjuang dengan begitu keras sampai kamu berhasil. Tapi Abang juga tau kalo kamu kecewa karena diomelin kepala sekolah karena kamu cuma berada di posisi juara dua, udah gitu penghargaannya ditahan lagi. Abang tau kamu sedih karena mereka bahkan gak mengapresiasi kamu."
"Abang lagi ngomongin apa, sih? Aku gak paham tau gak."
Saat itu yang lebih tua tersenyum dengan begitu tulus. "Terkadang kamu hanya perlu mendapatkan apresiasi dari diri kamu sendiri. Sekarang liat muka kamu di cermin, tatap dia, terus bilang makasih karena udah berjuang sejauh ini."
"Ih, kayak orang gila ngomong sendiri."
"Nurut aja bisa gak sih? Gak usah banyak ngelawan kalo lagi dibilangin Abang tuh."
Yang lebih muda mendecak, mau tak mau jadi mengambil alih cermin yang diberikan kakaknya dan menatap refleksinya di sana. Lava yang penasaran pun turut menatap refleksi anak perempuan itu di cermin. Untuk beberapa saat, hening. Anak itu benar-benar memandangi dirinya sendiri. Sampai akhirnya bibir gadis itu tertarik perlahan, membentuk sebuah senyuman tipis.
"Kamu hebat," katanya, lirih. "Makasih udah berjuang sejauh ini."
Lava terpaku memandangi itu. Apalagi saat bola mata si anak perempuan bergerak, bertemu dengan nayaka miliknya yang entah anak itu temukan di mana -sebab yang Lava lihat di cermin hanya refleksi anak perempuan itu, sama sekali tidak ada dirinya. Maklum, Lava masih sangat kecil untuk bisa mengerti bahwa ketika dia bisa melihat orang lain di cermin maka orang itu juga bisa melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Luka
Teen FictionLava sadar bahwa dirinya selalu dinomorduakan. Tapi dia memilih menjalani hidup dengan bahagia daripada meratapi kesedihannya. Walaupun orang tuanya tidak pernah menganggapnya ada, toh Lava masih mempunyai saudara yang selalu ada untuknya, pacar yan...