"Lima..., empat..., tiga..., dua..., satu...!"
Tepat setelah itu, ponsel Satria berbunyi membuat Lava memejamkan mata dan menunduk menempelkan kepala pada meja. Sesaat dia menghembuskan napas panjang, berusaha sekuat tenaga melepas rasa sesak di dadanya sebelum mendongak kembali menatap Satria di depannya.
"Waktu lo udah abis," kata Satria menggoyangkan pelan ponsel di depan wajah Lava. "Lo, Lavanya Hanadya, pulang sama gue." Raut wajah Satria datar tanpa ekspresi, suaranya pun terdengar dingin. Tapi justru Satria yang seperti itu adalah bagian paling menyeramkan dari Satria. Terlebih ketika Satria menyebutkan nama lengkapnya, itu bagaikan isyarat bahwa Lava harus benar-benar waspada. Satria sedang marah sekarang.
Dengan enggan Lava mengikuti Satria yang langsung pergi begitu saja. Dia sempat tersenyum sekaligus mengucapkan terima kasih pada pelayan restoran itu.
Takut-takut Lava menyentuh lengan Satria, menghentikan lelaki itu yang baru saja akan menyalakan mobil. "Sat," panggil Lava pelan, "Kalo nanti Kak Dimas dateng, gimana?" Tanya Lava hati-hati. Jujur saja Lava ingin kembali masuk dan duduk di sana, menunggu Dimas menepati janjinya.
"Lav!" Satria mendecak sinis. "Lo bisa gak sih gak usah bucin? Lo udah nunggu dia sendiri selama 20 menit, ditambah sama gue 40 menit. Udah satu jam, Lavanya. Satu jam. Satu jam dia gak dateng lo pikir ke mana aja!?" Bahkan Satria enggan menyebutkan nama Dimas.
"Kan bisa aja Kak Dimas ketiduran."
"Gue jamin dia gak bakal dateng, Lav. Paling besok minta maaf, terus ngarang cerita biar lo gak marah. Lo tau cowok lo lagi ngapain sekarang? Si brengsek satu itu lagi selingkuh, Lav, cowok lo selingkuh!"
"SATRIA!" Bahkan Lava tidak segan meneriaki nama sahabatnya. Satria pikir hanya dia yang punya marah? Satria pikir Lava tidak akan tersinggung?
"Lo bisa gak sih ngehargain cowok gue!?" Bentak Lava, kini sepenuhnya memutar tubuh menghadap pada Lava. Sorot mata gadis itu tak kalah tajam, menatap Satria tanpa ragu. Rasa takutnya itu tiba-tiba menguap entah ke mana.
"Gimana gue bisa ngehargain dia kalo dia aja gak pernah ngehargain lo!"
"Lo tau apa sih, Sat!? LO TAU APA!? BAHKAN LO GAK TAU APA-APA!"
"LO YANG GAK TAU APA-APA, LAVA! LO DIBOHONGIN! DIA SELINGKUH!"
"Nggak mungkin, Sat. Lo gak usah ngada-ngada, deh!"
"Lav." Satria sempat menggeram, berusaha kembali meredam emosinya. "Gue minta putusin Dimas sekarang juga."
"Anj—! Lo maksa banget pengen denger gue ngomong kasar!?"
"Apa sih bagusnya tu cowok!? Bahkan dia gak bisa nepatin janjinya sendiri. Selama ini gue maklumin semua kegilaan dan kebucinan lo, gue maklumin sikap dia sama lo. Tapi gue udah muak, Lav. Gue muak."
"Nggak. Gue gak bisa putusin Kak Dimas."
"Lav, please. Sekali aja lo dengerin gue, bisa!?"
"Lo pikir lo siapa, sih, Sat? Lo cuma satu dari banyaknya manusia yang tumbuh bareng gue. Lo gak punya hak buat atur-atur hidup gue!"
Satria mengepalkan tangan, tersinggung.
"Lo cuma bisa ngungkit-ngungkit semua kesalahan Kak Dimas, tapi gak pernah sekalipun lo muji perbuatan baiknya. Lo tahu sendiri gue sama Kak Dimas gak mudah. Lo tau sendiri gimana perjuangan gue gak pernah percaya sama cowok mana pun dan Kak Dimas dateng dengan semua keberaniannya, kebaikannya buat nerima gue apa adanya!"
"Lo pikir lo sehina apa, sih, Lav? Lo sempurna, lo berharga! Banyak cowok lain di luar sana yang lebih pantes buat dapetin lo."
"Tapi di samping itu semua belum tentu mereka bisa nerima kekurangan gue!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Luka
Teen FictionLava sadar bahwa dirinya selalu dinomorduakan. Tapi dia memilih menjalani hidup dengan bahagia daripada meratapi kesedihannya. Walaupun orang tuanya tidak pernah menganggapnya ada, toh Lava masih mempunyai saudara yang selalu ada untuknya, pacar yan...