Hari masih terlalu pagi untuk para siswa bersiap menerima pelajaran, menyebabkan kelas belum terlalu ramai karena mereka yang sudah datang pun lebih memilih berbelok ke kantin untuk menyantap sarapan atau berada di lapangan untuk sekedar berlari mengejar bola dan membuat tubuh bau keringat. Walau begitu, Lava yang sejak tadi membuka tutup resleting dan mengeluarkan isi tasnya cukup untuk menciptakan kegaduhan di bangku kedua dari belakang itu. Entah sudah berapa kali Lava membalikkan semua buku catatan yang dia bawa, memeriksa sampulnya untuk memastikan bahwa dia tak salah membawa buku atau ada yang tertinggal. Tapi sampai dia membalik tas dan membiarkan semua isinya benar-benar keluar dan berantakan, Lava masih tidak menemukan apa yang dicarinya; buku matematika.
Hari ini di jam pertama, kelas mereka mempunyai kuis. Sejak kelas 10, Lava selalu menjawab semua soal yang diberikan dengan baik dan bertahan sampai tak ada yang mampu lagi menyerahkan lembar jawaban sebelum waktu mereka habis. Dia tidak pernah kehilangan reputasi sebagai siswi pintar, dan tidak mau jika sekarang posisinya harus bergeser. Biarkan saja Lava dianggap egois, toh dia berusaha keras dan berjuang untuk dirinya sendiri. Tapi masalahnya, Lava tidak tahu buku matematika miliknya di mana. Berpikir untuk menjadi egois pun tidak akan ada gunanya jika dia tidak belajar.
Sampai saat sebuah tepukan halus mendarat di atas kepalanya, Lava kontan menjerit tak siap. Anak itu terkejut bukan main.
"SATRIA!" Pekik Lava kesal. "Bisa gak sih lo kalo dateng tuh permisi kek, assalamualaikum kek. Udah datengnya gak ketauan, tiba-tiba nabok kepala gue. Kaget anjir," omel Lava, menatap Satria garang.
Satria tergelak, hanya untuk membuat dirinya terlihat lebih menyebalkan dari biasanya. Anak itu duduk di bangku milik Rangga, menghadap belakang memeluk sandaran kursi.
"Lo aja yang terlalu fokus, dih," elak Satria setelah tawanya reda. "Lagian lo ngapain deh Lav, pagi-pagi gini udah heboh banget."
Lava mendengkus pelan, kembali menunduk mengabaikan sahabatnya. "Hari ini ada kuis dan buku gue ketinggalan," katanya.
Satria mengangkat alis, menatap Lava dengan jenaka. "Buku ini maksud lo?" Tanyanya, mengangkat buku yang tadi dia gunakan untuk menepuk kepala Lava.
Satu kalimat yang membuat Lava kontan mendongak. Dengan mata berbinar, dia langsung mengambil alih buku bersampul coklat itu dari tangan Satria.
"Sat," panggil Lava. "Kok buku gue bisa ada sama lo?"
"Tiba-tiba ada di tas gue."
Lava mengerjap, otaknya tiba-tiba bekerja lebih cepat membuat anak itu teringat sesuatu. "Lah anjir, gue lupa. Tadi gue di jalan sempet belajar, Sat, hahaha. Kayaknya gak sengaja gue masukin ke tas lo di perempatan lampu merah."
Satria kembali tergelak. Dia membiarkan tangan kirinya masih memeluk sandaran kursi, sementara tangan kanannya terangkat menyentil kening Lava.
"Eh, kok panas," celetuk Satria, kini menempelkan punggung tangan. "Lo sakit?"
"Hah? Apa? Enggak," elak yang perempuan, benar-benar merasa baik-baik saja. Dia menepis tangan Satria, meraba keningnya sendiri. "Anget doang, gak sampe demam. Gue gak papa."
"Hari ini absen pelajaran olahraga aja, gue yang bilang ke Rangga."
"Gak papa elah, gue masih bisa lari-larian."
"Buset, barusan ada gempa apa gimana? Berantakan amat dah," komentar Ara yang baru datang, melangkah mendekat dengan permen lolipop yang gagangnya sudah tak utuh lagi sebab dia gigiti sepanjang jalan.
"Gue tadi nyari buku matematika, taunya kemasukin di tas Satria," aku Lava, merengut kecil. Mau tak mau dia kembali memungut buku-buku dan kembali memasukkan ke dalam tasnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/262557836-288-k965356.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Luka
Teen FictionLava sadar bahwa dirinya selalu dinomorduakan. Tapi dia memilih menjalani hidup dengan bahagia daripada meratapi kesedihannya. Walaupun orang tuanya tidak pernah menganggapnya ada, toh Lava masih mempunyai saudara yang selalu ada untuknya, pacar yan...