Memasuki hari-hari menuju ujian akhir semester, pengunjung perpustakaan menjadi lebih banyak dari biasanya. Meskipun begitu, fakta lebih banyak tidak menjadikan tempat itu berisik. Perpustakaan tetap menjadi tempat tenang, berbanding terbalik dengan isi kepala Lava yang riuhnya minta ampun. Sebab di antara puluhan orang yang sedang membaca buku sebagai bentuk usaha mereka dalam menghadapi ujian, Lava duduk bersama buku tebal yang sejak tadi tergeletak tak berguna di atas meja —sebab Lava hanya membolak-balik halamannya tanpa ada satu kalimat yang benar-benar dia baca.
Hembusan nafas anak itu sama sekali tidak mengganggu yang lain. Mereka tetap fokus dengan urusan masing-masing. Atau barangkali mereka tahu, bahwa di dalam ujian mereka tidak akan ditanya perihal urusan hidup orang lain.
"Lav, lo kenapa, sih!? Gue baru manggil nama lo doang, lo langsung Ara, Ara, Ara!"
"Ya karena lo ke sini mau nyari Ara, kan?"
"Kenapa gue harus cari Ara sih Lav? Kenapa!?"
"Ya karena lo suka sama Ara."
"Iya, lo bener. Gue emang suka sama Ara. Tapi bukan berarti gue ke sini cari dia. Gue ke sini mau cari lo, Lav."
"Kenapa gue?"
"Ya karena lo sahabat gue, Lava! Gue pengen pulang bareng lo, gue pengen nongkrong bareng lo, gue pengen belajar bareng lo."
"Udah deh, Sat, lo gak bisa gini terus. Gue gak mau jadi alasan lo selalu gagal dalam masalah percintaan!"
"Enggak, Lav—"
"Satria, cukup. Lo bisa gak sih lanjutin hidup lo sendiri dan biarin gue hidup dengan tenang!? Bisa gak lo gak usah ganggu gue terus!?"
"Tap—"
"BERISIK!"
Sejak Lava memutuskan duduk di sana, kalimat demi kalimat itu terus berputar dalam otak Lava bagaikan kaset butut. Bahkan anak itu sampai hafal semua kata yang dirinya dan Satria ucapkan, saking tidak maunya suara itu berhenti mengganggunya.
Tadi saat keluar kelas, Lava bertemu dengan Satria. Tanpa menunggu Satria menyelesaikan kalimatnya, Lava langsung menyuruh laki-laki itu ke kelas untuk menemui Ara, seperti biasanya. Namun Satria justru marah, memicu pertengkaran diantara keduanya.
Satria tidak berbohong saat mengatakan dia datang bukan untuk mencari Ara, melainkan karena ingin menemui Lava. Bahkan lebih dari kalimat yang dia ucapkan, Satria ingin menyampaikan betapa rindunya dia pada sosok sahabat yang lambat laun mulai berjarak darinya. Dan kabar baiknya, Lava tahu itu. Lava paham perasaan Satria. Namun Lava juga tidak bisa berbohong bahwa dia merasa sakit saat Satria bilang, "Karena lo sahabat gue."
Lava sakit, dan Lava menjadi semakin sakit. Mungkin sebentar lagi dia akan mati terbunuh perasaannya sendiri.
Seandainya Lava mempunyai keberanian, ada banyak hal yang ingin dia sampaikan pada sahabatnya. Lava ingin Satria tahu semuanya, tentang semua kenyataan pedih yang harus dia hadapi seorang diri. Lava ingin memberitahu Satria akan ketidakmampuannya. Namun seandainya Lava benar-benar mengatakannya, apakah semuanya akan baik-baik saja? tidak.
Sebaliknya, hancur bukan hanya akan menghampirinya saja. Melainkan juga Ara dan Satria. Dan Lava tidak mau melukai keduanya. Bahkan sesakit apapun Lava, dia tetap menyayangi keduanya dan akan selalu seperti itu. Lava tidak mempunyai alasan untuk membenci mereka, jadi biarkan saja mereka yang marah dan membenci Lava.
Pada kata terakhir yang Lava ucapkan dalam pertengkarannya dengan Satria, Lava tahu laki-laki itu marah. Namun Lava tak cukup pandai untuk menebak apa yang laki-laki itu lakukan berikutnya. Sebab setelah meneriaki Satria, Lava pergi begitu saja menuju tempat ini. Itu lah kenapa saat ponselnya bergetar dan nama Satria terpampang nyata di sana, Lava mendesah tak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Luka
Teen FictionLava sadar bahwa dirinya selalu dinomorduakan. Tapi dia memilih menjalani hidup dengan bahagia daripada meratapi kesedihannya. Walaupun orang tuanya tidak pernah menganggapnya ada, toh Lava masih mempunyai saudara yang selalu ada untuknya, pacar yan...