Satria menghela napas panjang. Di atas meja, layar ponselnya mati begitu saja setelah bunyi panjang pertanda panggilan tersambung namun tak diangkat. Sama seperti tiga panggilan lainnya, panggilan ke empatnya pun kembali diabaikan.
"Ganteng amat perasaan, mau ke mana?"
Laki-laki itu menoleh, mendapati Syahnaz datang dengan cangkir berisi susu coklat yang tinggal separuh, duduk bersebrangan meja dengannya.
"Loh kamu baru sadar kalo Abang ganteng? Ke mana aja?" Tanya Satria menyebalkan, membuat Syahnaz merapatkan bibir, seketika menyesal sudah berbicara dengan manusia yang mempunyai rasa percaya diri setinggi mercusuar ini.
Baru saja perempuan bersurai panjang itu hendak beranjak setelah memindahkan biskuit dari kaleng ke piring, denting ponsel milik abangnya yang diikuti dengan hela napas panjang dan cara Satria Satria menjatuhkan kepalanya di meja makan membuat anak itu entah kenapa merasa prihatin. Satria sedang tidak baik-baik saja. Itu lah mengapa, mau tidak mau, dia memilih untuk duduk di sana lebih lama.
"Apa, sih? Kenapa? Abang ada masalah apa?" Tanya yang lebih muda.
Satria melipat tangan, menenggelamkan wajah di sana. "Nas, kamu telfon teteh kamu coba," suruh Satria dengan suara serak.
Syahnaz mengangkat alis, menatap Satria heran. "Kenapa, sih? Abang berantem ya sama teh Lava?"
"Tau ah."
Respon Satria yang seperti itu hanya membuat Syahnaz semakin penasaran. Bukan satu atau dua kali dia menjadi perantara Satria dan Lava jika mereka memang betulan bertengkar. Tanpa minta izin lebih dulu, Syahnaz meraih ponsel Satria. Ah, yang membuat Satria menjadi macam orang kehilangan semangat hidup ini adalah pesan masuk dari Lava ternyata.
Satria: ayo ke expo, gue uda siap
Lav
Woy
Gue jemput yeLava: gw lg g d rmh
lo ajak Ara aj"Ara siapa, bang?" Tanya yang lebih muda.
"Temennya Lava, gebetan abang," jawab yang lebih tua, jujur. Lagipula memang benar, Ara adalah teman Lava sekaligus gebetannya. Sampai sekarang Satria masih tidak tahu bagaimana cara menyampaikan perasaannya pada manusia aneh satu itu.
Detik berikutnya, Syahnaz hanya merapatkan bibir. Tanpa mengatakan apapun dia memilih beranjak dari tempatnya, kali ini benar-benar meninggalkan Satria bersama galau yang menyelimutinya. Syahnaz tahu dia masih kecil, bahkan dirinya masih belum mempunyai KTP. Tapi memiliki abang seperti Satria, walau sangat menyebalkan, tapi terkadang secara tak langsung dirinya diajarkan bagaimana caranya memahami tanpa harus mendengar apapun. Dan dia mengerti kekhawatiran Satria tanpa laki-laki itu mengatakannya. Namun di sisi lain, dia juga mengerti makna dari penolakan Lava.
Sementara itu di meja makan, Satria masih saja menenggelamkan wajah di atas kedua tangannya yang terlipat. Menikmati bingung yang mulai menikam dirinya.
Sudah hampir tiga hari Satria tidak bertemu dengan Lava. Setiap pagi tiap kali mau berangkat sekolah, Lava selalu sudah berangkat duluan. Di sekolah, setiap kali Satria datang ke kelas, Lava selalu pergi entah ke mana. Bahkan tiap kali Satria membuat onar dan bilang dia membutuhkan bantuan Lava, anak itu selalu mengirimkan pesan yang sama.
Ke kelas aja, ada Ara di sana.
Cari Ara aja, gue sibuk.
Lo ajak Ara aja, gue mager.
Gak usah beli ultra strawberry. Lo beliin permen karet aja, buat Ara.
Selalu saja Ara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Luka
Roman pour AdolescentsLava sadar bahwa dirinya selalu dinomorduakan. Tapi dia memilih menjalani hidup dengan bahagia daripada meratapi kesedihannya. Walaupun orang tuanya tidak pernah menganggapnya ada, toh Lava masih mempunyai saudara yang selalu ada untuknya, pacar yan...