019. Mereka tidak Berdosa

183 8 0
                                    

Ada banyak hal yang tidak bisa Lava katakan. Perasaannya terlanjur carut marut sekarang. Sejak dirundung oleh pertanyaan tentang apa itu hidup, Lava selalu merasa bahwa selama ini dirinya adalah kapal yang kehilangan jangkar. Lava tidak mempunyai petunjuk tentang ke mana ia harus berlayar. Tanpa kompas, tanpa tahu arah. Sepanjang pelayaran pahitnya, samudra tidak pernah sekalipun berada di pihaknya. Ombak dan badai terus menerus menghantam kapal rapuh itu. Mulai dari yang kecil sampai yang besar. Samudra dan arusnya tidak pernah mengantarkan Lava menuju pelabuhan, membiarkannya terus terombang ambing —mungkin sampai kapal itu karam menabrak kerang atau hilang dari peradaban. Lava tidak tahu.

Banyak sekali ketidakpastian yang bergerilya dalam kepalanya. Tentang berbagai kemungkinan yang tidak mempunyai jaminan. Apakah Lava bisa menghabiskan hari ini sebagaimana mestinya? Apakah besok semuanya akan baik-baik saja? Apakah lusa, dia sudah bisa bertegur sapa dengan keluarganya? Dan minggu depan, apakah minggu depan Lava bisa kembali menatap Sherly tanpa hati yang terluka? 

Hari ini Lava kembali di titik di mana dia berangkat sekolah dijemput lagi sama Satria. Benar-benar dalam definisi dijemput yang sesungguhnya. Memutar waktu, untuk beberapa kesempatan saat Dimas tidak bisa mengantarkannya sekolah dan Rezvan tidak bisa diandalkan, maka Satria tetap menjadi opsi bagi Lava. Bukan opsi terakhir, sebab mau dihubungi pertama atau kedua pun Satria pasti akan selalu menyanggupinya. Jika biasanya Satria akan menjemput saat Lava menelfonnya, maka hari ini lelaki itu datang tanpa permintaannya. Mungkin karena Satria tahu bahwa saat ini, dirinya adalah hal terakhir yang Lava punya —setelah Rezvan, tentu saja.

"Lo gak lagi ngitung jarak dari rumah ke sekolah pake rumus, kan?" Tanya Satria membuat Lava melirik.

"Hah? Apa?" Tanya si hawa mendekat. Sebab sama seperti perbincangan di atas motor lainnya, suara mereka tabrakan dengan angin dan bisingnya kendaraan lain.

Satria tidak menjawab lagi, tapi dia bisa menemukan Lava mendecak —terlihat dari sudut spion kanan. Begitu saja, Satria tertawa kecil. Setidaknya dia menemukan sedikit warna dalam mata Lava.

"Lo kalo gak niat ngajak gue ngobrol, mending diem. Gak usah bersuara apa-apa," omel Lava dengan suara yang cukup keras. Sengaja, supaya Satria bisa mendengarnya dengan jelas.

"Ya elu, ngapain sih pagi-pagi ngelamun? Gue berasa bonceng setan tau gak," balas Satria tak mau kalah.

Lava mencibir, tepat saat satria membelokkan motornya memasuki gerbang sekolah. Berbaur dengan kendaraan milik siswa lain.

Lava hampir beranjak setelah dia memastikan dirinya rapi untuk masuk ke dalam sekolah. Bagaimanapun juga Lava adalah salah satu role model bagi siswi lain. Walau lebih pendiam, tapi dari segi akademis dia adalah panutan. Tapi saat Satria menyerahkan kotak bekal makan ke depan wajahnya, gadis itu tidak jadi pergi. Ia menerimanya dengan alis terangkat, menatap Satria penuh tanda tanya.

"Gue gak bercanda waktu bilang mau ajak lo bolos," kata Satria sungguh-sungguh. Laki-laki itu menutup kembali tasnya. Masih duduk di atas motor, dia bergerak sedikit supaya bisa menghadap Lava. "Tapi kayaknya mending gak usah deh. Lebih baik lo di kelas daripada ikut gue latihan basket."

"Gak usah aneh-aneh deh, gue hari ini ada ulangan," kata Lava.

"Iya, enggak. Jangan lupa sarapannya dimakan. Bunda sama Syahnaz yang bikin, spesial buat Lavlav kesayangan mereka."

Lava terpaku menatap bekal yang diberikan Satria. Tutupnya yang tembus pandang bisa membuat dia dengan mudah tahu isinya. Roti lapis dan susu kotak rasa strawberry.

"Lavanya," panggil Satria pelan. Tapi sukses membuat Lava tersentak. Ia tahu itu namanya, tapi orang-orang jarang memanggilnya dengan nama depan yang lengkap.

Lava dan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang