008. Martabak

173 9 1
                                    

Malam itu Lava berbaring bersama Boo di teras belakang rumah. Di atas sana langit nampak cantik walau bulan bersinar sendirian tanpa ditemani bintang. Angin malam berhembus damai menyapu wajahnya. Dia menghembuskan napas berat, menatap room chat Dimas meragu. Sejak pertemuannya di toko buku kemarin, Dimas belum ada kabar lagi. Seolah pemuda itu menghilang begitu saja, bahkan dari semua media sosialnya. Lava jadi bingung harus memulai chat atau tidak. Sebagian kecil hati Lava khawatir sementara sebagian besarnya dia gengsi. Sebab biasanya Dimas yang akan selalu datang dan minta maaf duluan dan kembali membuat Lava merasa hangat. Tapi sekarang?

Pergerakan Boo membuat Lava menoleh, terjingkat kaget melihat buntalan berbulu itu melompat santai. Lava bangkit, melotot menunjuk Boo. "He, Boo, lo mau ke mana!?" Tanya Lava tidak santai. "Jarak aman lo sama gue dua meter, ya, kalo lo lupa. Pokoknya lo harus jauh jauh dari gue, jangan—" Lava menggeram, "—JANGAN LEWATI BATAS ITU!" Amuk Lava mengepalkan kedua tangannya dengan emosi.

Boo hanya melirik Lava sekilas, kemudian kembali menggoyangkan ekor pendeknya dan berjalan santai melewati boneka besar yang dijadikan perbatasan kekuasaan Lava dan kucing itu.

"Ini daerah teritorial gue, ngapain lo masuk, ha!? Lo mau kena denda!? Pokoknya gue gak mau tau, uang jatah makanan lo selama dua bulan buat gue 50%!"

"Apa, sih, Lava? Kamu kenapa?" Sherly baru datang, disambut oleh omelan adiknya yang sedang marah-marah pada kucing kesayangannya. Dalam langkahnya Sherly menatap Lava dengan pertanyaan, adek gue sebenernya punya masalah hidup apa sih?

Lava menoleh pada Sherly yang duduk bersila menyambut Boo ke dalam pangkuannya. Gadis itu mendecak, kemudian mengerucutkan bibir. "Aku laper."

Begitu saja, Sherly mendelik. Lapar yang dirasakan oleh Lava sama sekali tidak ada kolerasinya dengan amukan gadis itu pada kucingnya. Sherly ingin sekali menoyor kening adiknya, tapi mengingat Lava memang belum makan apapun sejak pulang sekolah tadi sore, Sherly hanya bisa menarik napas panjang. Kasihan juga Lava.

"Aku mau masak gak ada bahan, Mama belum belanja. Delivery aja mau gak?" Tawar Sherly meraih ponselnya membuka aplikasi. Tapi dia tersadar teringat sesuatu. "Eh kamu aja deh yang delivery, aku lupa kalo lagi diet. Hehe."

"Aku mau nasi ayam aja, bebas beli di mana juga. Sama kentang goreng sama cola," kata Lava menyebutkan pesanannya. "Padahal jajan mie ayam di pangkalan depan atau martabak di bunderan kayaknya enak," lanjut gadis itu tiba-tiba merana sendiri.

Melihat Lava yang mengecap lidah cukup keras dengan tatapan lurus menatap langit seolah dia sedang melihat satu mangkuk mie ayam extra pangsit, membuat Sherly terbahak saat itu juga.

"Yaudah kamu ajak pacar kamu jajan aja sana," suruh Sherly, masih belum memesankan pesanan Lava karena bisa jadi adiknya langsung berubah pikiran. "Oh atau kamu suruh dia beliin makanan aja terus nanti ke sini. Mumpung papa mama belum pulang, cuma aku yang tau."

Lava menarik napas pelan. "Lagi berantem," adunya malas. "Heran deh aku sama dia, ngeselin banget. Akhir-akhir ini cemburuuuuu teruuuuss. Liat aku sama Satria aja langsung ngamuk padahal dia tau jelas siapa Satria. Gak inget apa ya dulu waktu PDKT juga yang dia deketin Satria, bukan aku."

Tawa Sherly makin menjadi, gemas sendiri melihat Lava mengomel seperti itu.

"Eh gak jadi delivery deh, aku mau minta tolong Satria aja," kata Lava teringat. Dia jadi menunduk mengetik cepat di room chat terbuka.

Sherly yang masih tertawa jadi menggeleng kecil tak menyangka. Tak bisa menahan diri untuk tidak menepuk kening Lava pelan. "Ya pantes aja pacar kamu marah, orang kamu aja segitu lengketnya sama Satria. Gimana sih!?"

Lava dan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang